Lihat ke Halaman Asli

asep gunawan

Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

Borok Lama Bernama Korupsi, Pesan dari Demo 25 Agustus 2025

Diperbarui: 7 September 2025   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pesan dari Demo 25 Agustus 2025 (Sumber: canva.com/dream-lab)

Korupsi selalu kembali jadi borok lama. Setiap krisis, setiap demo, selalu ada bayangan korupsi di baliknya. Rakyat mungkin lelah, tapi setiap kali luka ini dibuka, kita diingatkan kembali bahwa bangsa ini tidak akan pernah benar-benar sembuh tanpa obat yang paten.

Demo 25 Agustus 2025 bukan hanya soal tunjangan DPR, tapi juga jeritan rakyat menolak korupsi DPR dan elite politik. Affan Kurniawan hanya ingin pulang setelah mengantar penumpang. Namun gas air mata, barikade, dan kendaraan taktis mengubah jalan pulangnya menjadi jalan terakhir.

Nama Affan kini menjadi wajah kemanusian dari luka demokrasi. Seorang anak muda tumbang, sementara elit negeri sibuk membagi fasilitas.

Konteks Sosial Demo 25 Agustus

Demo 25 Agustus 2025 tercatat sebagai salah satu momen paling riuh dan "terorganisir" dalam sejarah protes rakyat Indonesia pasca-reformasi. Pemicu awalnya sederhana tetapi menyakitkan.

Rencana tunjangan perumahan DPR sebesar Rp50 juta per bulan menjadi pemicu awal, meski sesungguhnya substansi protesnya jauh lebih dalam. Isu tunjangan hanyalah pintu masuk. Keresahan rakyat sesungguhnya adalah soal korupsi sistemik. Kondisi ini terasa ironis di tengah hidup dan kehidupan rakyat yang kian terhimpit biaya hidupnya.

Protes merebak di 32 provinsi, dari Jakarta hingga ke wilayah lain. Skala nasional ini sulit diabaikan. Mahasiswa, buruh, ojol, aktivis, hingga netizen menyatu.

Tidak ada komando tunggal. Tuntutan lahir dari keresahan kolektif. Dari jalanan muncullah 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang. Demo ini dengan tegas mengikat isu antikorupsi sebagai roh gerakan rakyat.

Tidak hanya di dalam negeri, dukungan juga datang dari luar negeri. Diaspora Indonesia di New York menggelar aksi solidaritas, doa bersama, dan menyerahkan 17+8 tuntutan ke KJRI. Di Jerman, diaspora mengadakan doa dan refleksi di depan Kedutaan. Aksi serupa juga muncul di Melbourne dan Belanda. Semua ini menandakan bahwa keresahan rakyat Indonesia melintasi batas negara, menjelma sebagai solidaritas global melawan korupsi.

Akar Masalah itu Bernama Korupsi

Seperti yang berulang kali terjadi, protes rakyat selalu punya inti masalah yang sama, yaitu korupsi DPR, korupsi BUMN, dan korupsi politik. Borok lama ini tak kunjung sembuh.

Kondisi ini tidak hanya tercermin dalam amarah rakyat di jalanan, tetapi juga bisa dibuktikan lewat data, laporan resmi, dan kasus hukum yang menggemparkan. Berikut beberapa contoh yang memperlihatkan betapa kronisnya persoalan korupsi di negeri ini.

  • Indeks Persepsi Korupsi (CPI 2024). Indonesia hanya meraih skor 37 dari 100, berada di peringkat resmi 99 dari 180 negara. Namun, menurut pakar UGM, jika dihitung dengan metodologi lama tanpa indikator Forum Ekonomi Dunia (WEF), skor sebenarnya stagnan di 34-35. Itu setara peringkat 115. Dengan kata lain, perbaikan yang digembar-gemborkan hanyalah ilusi statistik.
  • Kasus Pertamina 2025. Jaksa Agung mengungkap dugaan korupsi distribusi BBM yang merugikan negara Rp193,7 triliun. Angka itu kemudian diperbarui menjadi Rp285 triliun. Skandal ini menjadi salah satu kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah republik.
  • Politik Boros DPR. Fasilitas mewah, gaji tinggi, dan rencana pensiun seumur hidup memperkuat kesan bahwa elit politik lebih sibuk menebalkan dompet ketimbang menyelamatkan bangsa dan melihat ke bawak nasib kondisi rakyat.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline