Tidak semua "ayo makan" soal lapar. Kadang itu cara seorang eyang (nenek) bilang bahwa dirinya masih berarti untukmu.
Saya yakin kita semua yang jauh merantau ataupun yang dekat, selalu ketika kita berkunjung ke rumah Eyang, bersama cucunya, anak-anak kita, biasanya baru duduk sebentar, langsung disodori piring dengan pertanyaan, "Udah makan belum? Makan dulu ya. Eyang buat ayam goreng sama sup."
Kita kadang menolak dengan sopan, bilang sudah kenyang. Tapi piring berikutnya tetap datang: kue yang baru dibuatnya, semangkuk sup hangat, atau satu teko teh manis. Dulu, semua itu terasa seperti kebiasaan lucu orang tua. Kini, rasanya lain di dada.
Aku tumbuh dan besar dengan anggapan sederhana bahwa eyang suka sekali menyuruh makan. Dulu kupikir ceritanya berhenti di situ, ternyata masih berlanjut.
Di usia yang menua, kaki yang tak lagi lincah, tangan yang mulai gemetar, ada banyak hal yang tak lagi bisa mereka lakukan sendiri seperti pergi ke pasar, mengendarai motor, menenteng kantong belanjaan yang berat.
Satu demi satu peran itu pergi. Tapi ada satu hal yang tetap ada, yang masih bisa mereka lakukan dengan kepala tegak: memasak. Menyajikan. Memberi.
Di dapur kecilnya, eyang seperti kembali memegang kemudi. Ada yang bisa ia atur, takarannya ia tentukan, bumbunya ia cicipi. Di situ, hidup terasa masih dalam genggaman.
Ketika piring itu sampai di meja, sebenarnya bukan hanya makanan yang ia letakkan. Ia menaruh rasa berguna. "Aku masih ada artinya untukmu."
Sejak kecil kita akrab dengan sebuah lagu "Kasih Ibu" yang sederhana. "Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa." Lirik itu seolah mengalun setiap kali sepiring makanan disodorkan dengan senyum tulus. Lirik itu sederhana, jujur, dan selalu kembali menyentuh hati.
Sekarang hidup kita terasa semakin dikejar waktu, serba cepat, seperti hidup modern yang membuat kita sering melewatkan momen sederhana bersama orang tua.