Lihat ke Halaman Asli

Aryanto Husain

photo of mine

Paradoks Kebijakan, Mengapa Kebijakan (sering) Tertolak Di akar Rumput?

Diperbarui: 3 September 2025   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doa bersama untuk mengenang Affan Kurniawan di Gorontalo (Foto: Pemprov Gorontalo)

Dari Gorontalo, doa mengalir untuk Affan Kurniawan. Tepat  di jantung Kota, Lapangan Taruna Remaja Kota Gorontalo, Gubernur Gorontalo bersama pejabat tinggi berbaur bersama para  para diver Ojol memanjatkan doa sambil mengenang wafatnya sang driver ojol. Kepergiannya menjadi puncak kebangkitan gelombang protes yang melanda seluruh tanah air.

Kepergian Affan seolah menghela keluar semua beban yang menghimpit di  akar rumput. Sekian lamannya, mereka melihat langsung ketidakadilan ekonomi dan merasakan kesenjangan sosial.  Kondisi ini paradoksial dengan upaya negara menghadirkan kebijakan memihak. Alih-alih memperbaiki kondisi yang ada, kebijakan itu terkadang justru memperdalam ketidakpuasan dan hilangnya kepercayaan publik.  

Rencana kenaikan tunjangan anggota DPR, hingga kenaikan pajak adalah sebuah paradoks kebijakan. Kenaikan tunjangan DPR di tengah krisis biaya hidup menjadi cerminan bias status quo. Demikian halnya ketimpangan dalam  struktur ekonomi. Publik menganggap struktur ekonomi yang ada hanya memberi keuntungan besar kepada elite kapital. 

Hal ini membentuk narasi "paradoks pertumbuhan tanpa kesejahteraan". Saat pertumbuhan dinilai tidak inklusif, masyarakat merasa dikecewakan karena "kemajuan" hanya dinikmati segelintir pihak. Bahwa elit hidup dalam kesenangan. 

Hal ini berimbas pada timbulnya resistensi terhadap ketidak adilan simbolik yang memperkuat persepsi bahwa para elite  itu "arogan". Akibatnya, reaksi emosional menjadi lebih kuat dibandingkan analisis rasional. Rakyat merasa bahwa kebijakan tidak hanya salah secara rasional, namun juga tidak adil secara moral.

Tidak heran, kematian Affan yang tidak adil itu menjadi "trigger event", menimbulkan eskalasi cepat dalam bentuk emosional kolektif. Sentimen masyarakat berkalibrasi lewat media sosial, memperkuat kemarahan massa.  

Untunglah Presiden dengan cepat mengambil sikap, mencabut tunjangan DPR hingga meminta keluhuran aspirasi tidak ternoda oleh aksi anarkis.  Partai-partai politik pun seolah berlomba, mencopot para anggotanya yang duduk di DPR. Sejumlah anggota yang menjadi sorotan publik tidak hanya dimutasi tapi di nonaktifkan dari  kursi kebesarannya. 

Banyak yang senang bahkan memuji. Banyak juga yang menyayangkan. Keputusan ini dianggap terlambat setelah eskalasi riuh. Akibat keterlambatan tanggapan kebijakan (delayed correction) ini kredibilitas respons pemerintah menjadi berkurang. Kebijakan ini pun dianggap "tidak menyentuh akar masalah" seperti isu oligarki dan ketimpangan sistemik. 

Harus diakui, setiap respons  cepat dan empatik akan efektif meredam protes dibandingkan respons yang hanya simbolik atau taktis belaka. Namun memperbaiki akar permasalahan jauh lebih penting. Gelombang protes ini menjadi momentum melihat kembali kebijakan-kebijakan yang paradoksial, menggantinya dengan kebijakan yang memihak. 

Kebijakan yang baik melewati proses penyusunan (policy process) yang baik. Ini adalah rangkaian aktivitas intelektual dan politis yang dilakukan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan publik. Proses ini bersifat siklus (cyclical) namun juga dinamis karena tiap tahap bisa saling memengaruhi, berulang, dan tidak selalu linear.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline