Lihat ke Halaman Asli

Arundati Swastika W

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Deepfake, Teknologi AI yang Mengaburkan Batas Fakta dan Realita

Diperbarui: 7 Oktober 2019   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika umumnya proses editing pada video hanya bisa dilakukan oleh para profesional di ranah perfilman dan teknologi media, maka kini dengan perkembangan teknologi yang pesat siapa saja bisa melakukan tindakan tersebut. Maka kemudian, muncul lah teknologi deepfake.

Deepfake merupakan sebuah teknologi yang berbasis AI (Artifical Intelligence) dan bekerja dengan melakukan melalui cabang dari AI yaitu deep learning. Maka dari itu, istilah deepfake ini merupakan gabungan dari 'deep learning' dan 'fake'. Deep learning sendiri merupakan cabang AI dimana teknologi tersebut 'melihat' sesuatu beberapa kali sebelum menjadi cepat dan dapat memahaminya.

Bantuan dari teknologi AI terutama dalam hal 'deep learning' ini, membuat deepfake bisa menerapkan teknologi untuk mengedit atau memanipulasi visual manusia dalam foto atau video dengan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan atau katakan.

Adanya deepfake yang memungkinkan seseorang untuk memanipulasi sebuah video dengan wajah yang diinginkan hingga terlihat nyata, tentunya menjadi ancaman untuk hoaks. Manipulasi yang dilakukan terhadap wajah seseorang di dalam video dilakukan dengan sangat detil, sehingga akan menjadi sulit untuk melakukan deteksi kebenaran dari video yang telah dimanipulasi.

Bahkan pada perkembangannya, deepfake tidak hanya dilakukan melalui tempelan wajah saja; tetapi telah dikembangkan teknologi AI dimana fitur deep learning yang disebutkan sebelumnya bisa dilakukan dengan mudah. Hal ini ditunjukkan dengan mengedit sebuah pembicaraan semudah mengedit transkrip. Teknologi ini masih berupa pengembangan oleh peneliti dari Adobe Research dan beberapa universitas di Amerika Serikat; namun kedepannya, bisa saja digunakan secara luas.

Korban dari deepfake ini bisa dari berbagai kalangan, baik selebriti maupun tokoh politik. Salah satu yang menjadi korban adalah Scarlett Johansson. Aktris ini menjadi korban deepfake dimana wajahnya digunakan untuk video porno; sehingga seolah-olah dialah yang menjadi pemerannya.

Sasaran lain dari deepfake adalah mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama. Beliau dibuat seolah-olah mengatakan kata-kata kasar pada presiden Donald Trump yang kini tengah berkuasa. Hal ini menunjukkan jika deepfake bisa jadi sangat merugikan bagi berbagai kalangan yang videonya dimanipulasi.


Pengaruh yang diberikan deepfake menjadi besar, dan bisa menimbulkan ancaman yang cukup besar terutama di zaman yang serba cepat sekarang ini. Hoaks bisa saja tersebar lebih cepat dengan video deepfake yang terlihat seolah-olah nyata. Pada beberapa konteks, teknologi deepfake memang bisa untuk konten komedi. Seperti deepfake Jennifer Lawrence yang wajahnya diganti dengan aktor Steve Buscemi.

Sumber : hitekno.com

Pada konteks jurnalisme, keberadaan deepfake jelas bisa mengancam reputasi jurnalis. Hal ini dikarenakan konten video deepfake bisa mengaburkan batas antara fakta dan palsu. Beberapa jurnalisme 'nakal' bisa saja mengaburkan fakta pada laporan dengan melakukan deepfaking pada video laporan tertentu.

Pemalsuan fakta tersebut memungkinkan terjadinya misinformasi yang akhirnya berakhir pada penyebaran berita palsu atau hoaks. Deepfake bisa menambahkan populasi fakta atau berita palsu yang tersebar melalui internet, dan dalam data sendiri sudah dalam tingkat yang cukup tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline