Lihat ke Halaman Asli

Arnold Mamesah

TERVERIFIKASI

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Perekonomian dalam Gejolak Deflasi dan "Currency Wars"

Diperbarui: 12 Agustus 2015   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


 Devaluasi Renmimbi

Bukan hal luar biasa jika pada 11 Agustus 2015 Bank Sentral Tiongkok melakukan devaluasi pada mata uang Renminbi (CNY) yang sebelumnya selalu dipertahankan (pegging) nilai tukarnya. Dengan devaluasi berarti Tiongkok terikut dalam kancah “Currency Wars”. Trend pertumbuhan ekonomi Triwulan-I dan II 2015 serta kondisi turunnya nilai ekspor Tiongkok pada Juli 2015 sebesar 8.3% telah menimbulkan dampak oversupply produksi Tiongkok dan akan menekan pertumbuhan ekonomi yang pada Triwulan selanjutnya. Kondisi mata uang Tiongkok CNY yang “strong & stable”, USD yang “super strong” sementara negara pengekspor ke Tiongkok bermain dalam “Currency Wars” (devaluasi nilai tukar secara gradual), membuat ekspor Tiongkok tertekan sementara impor terus masuk ke dalam Tiongkok. Dengan kehadiran barang impor yang terasa murah (akibat Currency Wars) dan kondisi oversupply akan timbul disinflasi atau inflasi rendah dan dampaknya menekan upah serta pertumbuhan.

Devaluasi CNY juga merupakan upaya Tiongkok untuk menuju “floating exchange rate regime” dengan meninggalkan kebijakan “pegging”. Hal ini merupakan salah satu prasyarat CNY masuk dalam SDR (Special Drawing Rights) IMF yang merupakan basket mata uang IMF yang saat ini meliputi mata uang Euro, JPY (Yen), GBP (Pound Sterling), USD.

Bumerang Strong Currency

Dengan USD yang kokoh (Strong Currency) bukan kondisi yang nyaman bagi korporasi dan pasar US. Sejalan dengan turunnya harga komoditi dan minyak mentah, permintaan dunia (worldwide demand) secara agregasi tertekan. Kondisi ini berdampak pada kinerja korporasi misalnya yang terjadi pada industri teknologi yang dialami Apple, Microsoft, IBM juga pada industri “consumer goods” seperti P&G dan tentunya "oil company" seperti Chevron, Exxon. Keadaan ini berdampak tekanan pada serapan tenaga kerja dan pendapatan, yang selanjutnya menekan demand (permintaan) serta menurunkan imbalan serta ekspektasi masa depan (future projection) pada korporasi. Situasi ini sangat tidak nyaman bagi investor dan beresiko pada stabilitas pasar saham dan uang US. Strong Currency USD hanyalah kebanggaan semu namun sebenarnya bak bisul yang saat meledak menimbulkan dampak besar pada perekonomian USA. Kondisi ini yang menambah “headache” the Fed US yang terus menggantung keputusannya menaikkan suku bunga acuan.

Ancaman Dunia dan Respon Indonesia

Devaluasi CNY merupakan implikasi dari penurunan harga komiditi yang beruntun dan berlangsung sejak 2012. Juga, trend penurunan harga minyak mentah yang terus berlangsung hingga berada pada angka di bawah USD 50 per barel, merupakan ancaman bagi perekonomian dunia, terutama pada negara yang mengandalkan penerimaan dari komoditi dan minyak mentah. Spiral deflasi dengan kombinasi “Currency Wars” akan memberikan tekanan pada perekonomian dunia secara berkepanjangan (lihat : "Spiral Deflasi" dan "Currency Wars" yang Berbuah Krisis)

Bagaimana dengan kondisi perekonomian Indonesia ? Beberapa pencapaian indikator ekonomi perlu mendapatkan apresiasi seperti tingkat inflasi pada Juli 2015 yang mencapai angka 0,93% dan pertumbuhan ekonomi triwulan II walaupun hanya mencapai angka 4.63% dibandingkan dengan pada triwulan I sebesar 4,71%. 

Penjelasan. Sumbu kiri tingkat inflasi tahunan dan sumbu kanan tingkat inflasi bulanan.

Menggunakan rerata 10 tahun terakhir, angka inflasi bulanan yang tinggi mungkin terjadi pada akhir tahun. Tetapi melihat penanganan pada masa Juni & Juli 2015 (saat bulan puasa dan Hari Raya), seharusnya gejolak pada akhir tahun akan dapat ditangani. Sedikit catatan dengan tingkat inflasi yang terkendali (secara rerata 2015 di bawah 0,5%) mengindikasikan bahwa depresiasi Rupiah terhadap USD tidak berpengaruh pada inflasi. Hal ini menunjukkan ketergantungan konsumsi masyarakat akan barang impor berkurang. Dengan memperhatikan prakiraan inflasi hingga akhir 2015, target inflasi tahunan 5% +/- 1% akan dapat dicapai bahkan besar peluang untuk berada di bawah 5%.

Kondisi cadangan devisa per akhir Juli 2015 yang berada sedikit di bawah USD 108 miliar dibandingkan pada angka USD 110,8 miliar pada akhir Mei 2015 mengindikasikan Bank Indonesia tidak gegabah dalam melakukan operasi pasar terbuka khususnya intervensi demi nilai tukar Rupiah terhadap USD. Tindakan melakukan intervensi pada saat pasar uang sarat dengan perilaku spekulasi dan kondisi “Currency Wars” ibarat menggarami laut atau tindakan sia-sia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline