Lihat ke Halaman Asli

Tumbal Arwah Jelangkung - 10

Diperbarui: 12 Maret 2016   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rasa nyeri hebat masih berdenyut di kepalanya. Donni sudah sadar. Namun, ada hal janggal di tempatnya berada sekarang. Tempat ini beraroma kemenyan dan wewangian yang belum pernah dibauinya. Hanya terdapat satu lubang ventilasi yang berada di atas jendela yang memiliki dua tirai. Dan satu hal yang pasti—tempat ini begitu remang. Bisa dibilang hampir gelap. Donni melihat seorang wanita berjubah hitam sedang menghampirinya.

“Kau sudah bangun?”

Kedua bola mata Donni mendelik.  Ia kenal betul, suara wanita yang membelakanginya saat ini. Wanita itu sedang berjongkok menyalakan susunan pentagram lilin hitam di atas tubuh seorang wanita yang terbaring tak berdaya.

“Lina? Mau kau apakan dia?!” pekik Donni. Ia tak bisa menggerakkan badannya leluasa karena dililit tali tambang dan lengannya dirantai.

“Entah apa yang membuat kalian terlambat menyadari, bahwa semua ini adalah ulahku,” Wanita itu berbalik badan, menghadapkan diri ke arah Donni. Ia tak percaya tubuh Lina sudah ditaburi dengan kembang tujuh rupa dan di atas dadanya sebuah boneka perempuan ditaruh dengan posisi duduk.

“Arwah anakku ingin sekali meminta tubuh yang masih hidup sebagai pengganti tubuhnya yang sudah mati. Ia merasa, tubuh temanmu ini, cocok sekali untuknya,” tutur ibu Hesty. Tangan kirinya memegang sebuah pisau dapur.

Donni tak mengerti sama sekali apa yang dikatakan oleh gurunya. Sialnya, ia juga tak bisa menemukan menemukan kancing peniti yang biasanya ia dilekatkan di saku belakang celana jeans-nya.

“Kau sepertinya tidak mengerti dengan penjelasanku. Baik, akan kujelaskan semua. Aku bukanlah orang yang suka mengajar murid-murid seperti kebanyakan guru, meskipun aku adalah sarjana pendidikan matematika. Aku lebih suka dengan menjahit dan membuat mainan seperti boneka.”

“Lalu, kenapa kau bisa menjadi guru di sekolah kami? Ada apa dengan keluargamu?” Donni sudah menemukan letak kancing peniti itu. Pelan-pelan ditariknya hingga peniti itu berada di genggaman tangannya.

“Anakku meninggal dunia karena dibunuhteman-temannya. Teman-teman sebayanya iri padanya karena anakku merupakan murid terpintar meskipun dia punya cacat di bagian matanya. Hatiku hancur mengetahui putriku satu-satunya dibunuh ditambah lagi suamiku meminta cerai. Aku memutuskan pindah rumah ke komplek Grand Morista. Ya, untuk memenuhi kebutuhan hidupku, aku mempergunakan ijazahku untuk melamar sebagai guru honor di sekolahmu tercinta.”

Ia tak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan gurunya. Kedua tangannya masih sibuk membentuk lubang kunci yang pas pada gembok yang membelenggunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline