Lihat ke Halaman Asli

Gandrung Sewu dan Wastranya

Diperbarui: 2 Oktober 2017   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latihan bersama di Stadion Diponegoro, Banyuwangi. Dok. Arif.

Banyuwangi dengan segala pesona yang dimiliki bulan ini siap menggelar Gandrung Sewu kembali. Festival tahunan tersebut akan dilaksanakan pada hari Minggu, 8 Oktober 2017 di Pantai Boom, Banyuwangi. Sebagaimana perhelatan akbar pada umumnya, para talent sudah melakoni serangkaian seleksi cukup ketat dan latihan berulang kali. Seleksi diawali dari tingkat kecamatan hingga akhirnya terpilih sebanyak 1.200 penari yang nantinya siap membentuk sejumlah formasi.

Tidak sampai di situ, untuk meyakinkan para pelatih dan menyelaraskan gerak antara penari satu dengan lainnya, hari Sabtu kemarin mereka melakukan latihan bersama. Latihan dipusatkan di Stadion Diponegoro, Banyuwangi. Gandrungsebagaimana termaktub dalam kamus, memiliki arti yang cukup beragam, yaitu sangat rindu atau tergila-gila karena asmara. Memang benar, dari tahun ke tahun pertunjukan seni yang satu ini sanggup membius siapa pun yang menyaksikannya. Para penonton tidak hanya merindukan penari Gandrungnya, melainkan juga alunan musik etnik yang disuguhkan dalam pergelaran.

Jika dihitung mundur dari hari ini berarti kurang enam hari menuju pelaksanaan. Menariknya adalah di tengah kesibukan persiapan menjelang hari H, tepat hari ini pula --2 Oktober 2017-- masyarakat di Indonesia sedang bersuka cita merayakan Hari Batik Nasional. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam menari Gandrung ke-1200 penari tersebut akan memakai kain (batik) yang dulu lebih dikenal dengan istilah wastra.

 Istilah ini diacu dari sejumlah kitab sastra yang artinya sehelai kain yang dibuat secara tradisional. Wastra Nusantara dapat dikatakan sebagai kain tradisional Indonesia dengan motif yang sarat makna. Kekayaan budaya Indonesia melahirkan beragam jenis wastra yang berbeda-beda dan unik di tiap daerah, seperti di Banyuwangi (di antaranya) ada motif Gajah Oling yang biasa dikenakan oleh penari Gandrung.

Tampil di Istana Negara

Pada  saat upacara hari ulang tahun ke-72 Republik Indonesia yang lalu tari Gandrung dari Banyuwangi ini berkesempatan kembali tampil di Istana Negara, Jakarta. Dari sekian talent yang ikut dalam Gandrung Sewu, salah satunya adalah Yuni Artika Definta. Gadis yang mulai menggeluti dunia tari sejak umur empat tahun ini mengaku senang karena untuk ketiga kalinya ia dapat ambil bagian dalam pertunjukan kolosal tersebut.

Yuni Artika Definta. Dokpri.

"Saya senang mas, karena sudah tiga kali ini saya ikut Gandrung Sewu. Apalagi kemarin dipercaya menjadi salah satu wakil Banyuwangi yang berangkat ke Jakarta. Dapat menari di istana bagi saya sangat membanggakan," tuturnya dengan senyum menggurat di bibirnya.

Ia mengakui untuk sampai di titik ini (lolos seleksi) bukan perkara mudah. "Terkadang kesulitan harus dirasakan sebelum kebahagiaan datang menghampiri," ungkapnya lebih lanjut.

Gandrung dan Entitas Perempuan

Ya, sejak kemunculan Semi pada tahun 1895 penari Gandrung memang identik dengan entitas perempuan. Berdasarkan catatan Belanda berjudul Gandroeng van Banjoewangi yang ditulis oleh John Scholte tahun 1927, Semi berasal dari Desa Cungking dan menjadi penari Gandrung perempuan pertama di Blambangan.

Jika dirunut ke belakang ketika Blambangan masih dalam bentuk kerajaan,wilayah ini juga pernah diperintah oleh seorang perempuan. Berdasarkan prasasti Waringin Pitu dari tahun 1369 Saka atau 1447 Masehi ketika Majapahit di bawah kekuasaan Dyah Kertawijaya, terdapat 14 kerajaan daerah dan salah satunya adalah Wirabhumi yang dikuasai Dyah Pureswari Rajasawarddhanendudewi. Fakta ini juga sesuai dengan data yang tertulis dalam Nagarakertagama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline