Lihat ke Halaman Asli

Paket Kebijakan Ekonomi, Bagaikan Bom?

Diperbarui: 12 September 2015   02:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paket kebijakan ekonomi jilid I telah diluncurkan oleh Presiden beberapa hari lalu (9/9/2015). Paket kebijakan ekonomi ini dikeluarkan untuk mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini.

Paket kebijakan ekonomi ini difokuskan pada tiga hal, yaitu pertama ; untuk mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi dan debirokratisasi. Ada 89 peraturan yang diubah dari 154. Hal ini bisa menghilangkan duplikasi, bisa memperkuat, dan memangkas peraturan yang tidak relevan, atau menghambat industri nasional. kata Presiden. Kedua ; mempercepat proyek strategis nasional, termasuk penyediaan lahan dan penyederhanaan izin, serta pembangunan infrastruktur. Ketiga ; meningkatkan investasi di bidang properti dengan mendorong pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Diharapkan kebijakan ini akan membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Rappler.com

Kata regulasi yang berasal dari regulation bermakna ‘tindakan pengurus­an dengan berbagai aturan (yang berkekuatan hukum). Debirokratisasi bermakna ‘tindakan atau proses mengurangi tata kerja yang serba lamban dan rumit agar tercapai hasil dengan lebih cepat’, sedangkan deregulasi bermakna ‘tindakan atau proses menghilangkan atau mengurangi segala aturan’. Pada kedua bentuk itu sudah terkandung makna tindakan. OIeh sebab itu, jika kita akan membentuk kata kerja, tidak perlu menambahkan imbuhan -kan, cukup mendebiro­kratisasi atau mende­regulasi, dan bukan mendebirokratisasikan atau menderegulasikan. badanbahasa.kemdikbud.go.id

Artinya deregulasi dan debirokratisasi adalah melakukan suatu tindakan atau proses mengurangi pengurusan tata kerja dengan berbagai aturan (yang berkekuatan hukum) yang serba lamban dan rumit. Diharapkan dengan menerapkan hal ini akan mendorong serta memicu daya saing industri nasional dalam artian usaha industri akan berlomba dan bersaing untuk segera tumbuh dan meningkatkan produk industrinya sehingga hal ini juga akan berimbas membanjirnya produk industri yang berdaya saing tinggi di pasaran serta diharapkan dapar diekspor ke luar negeri sebagai bagian dari input devisa negara.

Mempercepat proyek strategis pembangunan infrastruktur nasional, misalnya proyek jalan tol di Palembang, sehingga akan memperlancar arus akses transportasi usaha industri maupun usaha ekonomi rakyat plus meningkatkan akses pemasarannya.

Meningkatkan investasi di bidang properti dengan mendorong pembangunan rumah rakyat berpenghasilan rendah, dengan kata lain para pengusaha diharapkan mau berinvestasi membangun perumahan atau rumah rakyat miskin (berpenghasilan rendah).

Dari ketiga Pak Eko (paket kebijakan ekonomi) itu, pada ketiga item tersebut, akan ditemui sandungan yang sangat berarti jika berbicara pada skala penerapan di daerah. Karena adagium klasik dari para birokrat daerah masih akan bertahan yakni 'kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat'. Kenapa ini dikatakan, karena peranan SDM (Sumber Daya Manusia) di daerah khususnya pada tingkatan Kabupaten/Kota bahkan Kecamatan dan Kelurahan/Desa apalagi ditambah dengan keterbatasan fasilitas sarana dan pra sarana seringkali menjadi sandungan utama. Pengurusan perizinan dan surat menyurat yang diperlukan untuk suatu proses industri misalnya dari tingkatan terbawah itu masih sering 'lemot' (berlarut-larut). Apalagi jika ditambah pula dengan pola kepemimpinan 'gaya lama' dari Kepala Daerah (Bupati/Walikota atau Camat/Lurah) yang kadangkala penerapan 'pola upeti' masih sering terlihat sehingga menimbulkan keengganan para pelaku usaha industri untuk berinvestasi menjalankan usahanya (ribet dan lemot).

Dari ketiga item itu, yang paling memungkinkan untuk mulusnya perjalanan pelaksanaannya adalah pada pembangunan proyek infrastruktur strategis nasional seperti pembangunan jalan tol tersebut. Itupun jika pembebasan lahannya tidak menemui kendala berarti jika harus mengenai lahan warga karena lazimnya mereka akan minta 'ganti untung' bukan ganti rugi, malah dapat untung dengan menjual mahal untuk pembebasan lahan mereka. Jika ini tidak banyak menemui jalan buntu karena lahan tadi, maka proyek strategis nasional akan dapat terlaksana dengan cepat, secepat pula korelasinya dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi rakyat karena terbukanya kemudahan akses transportasi.

Berbicara tentang keinginan berinvestasi bagi para pengusaha, sepiawai dan selihay bagaimanapun sang Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dalam membangun infrastruktur dasar untuk menarik minat investor masuk ke daerahnya seperti misalnya pembangunan infrastruktur pasar dengan ruko-rukonya atau pembangunan sarana transportasi darat dengan jalan mulusnya maupun transportasi udara dengan pembangunan BANDARA yang megah misalnya, ini semua tidak akan lantas mudah begitu saja menarik minat investor masuk ke daerah. Peranan SDM Birokrat daerah dengan adagium klasik diatas yang masih berpegang teguh dengan aliran klasik berlemot ria atau masih suka berlama-lama dalam pengurusan perizinan yang diperlukan, jika ini masih tampak dipermukaan maka semua investasi itu akan menjadi bagaikan mimpi pungguk merindukan bulan.

Hal itu ditambah lagi dengan SDM Birokrat perencanaan dalam hal di daerah yaitu BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) masih jauh dari kualitas yang di harapkan. Ketika membuat suatu perencanaan di daerah, dimana rumusan terhadap tujuan, sasaran, strategi serta kebijakan yang dibuat sesuai dengan visi misi Kepala Daerah terpilih, masih sering terlihat mengambang, dalam artian tidak ada tolok ukur yang jelas untuk menghitung capaian keberhasilan kinerja atau dengan kata lain Indikator Kinerja terhadap program dan kegiatan tidak dapat diukur. Semisalnya, ketika akan merumuskan tujuan pembangunan daerahnya dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) selama kurun waktu 5 tahun dari masa kepemimpinan Kepala Daerah terpilih, masih terlihat pada perumusan tujuan sama dengan perumusan sasaran, konkretnya seperti tujuan meningkatkan kualitas kesehatan warga, maka masih tertulis pada sasarannya yaitu peningkatan kesehatan warga, padahal jika diartikan secara sederhana, sasaran itu adalah objek yang akan dituju pada tujuan peningkatan kesehatan warga tersebut, objek itu adalah berapa jumlah warga miskin yang akan dituju untuk pelayanan kesehatannya atau berapa jumlah anak-anak balita yang mesti kesehatannya harus diperhatikan selama setahun dan ini tentu bisa diukur dengan jelas berapakah yang dapat terlayani sesuai dengan alokasi anggaran pemerintah daerah yang tersedia. Jika belum dapat sepenuhnya terlayani pada satu tahun, maka dicarikan solusi alokasi anggarannya agar bisa tercapai untuk tahun berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline