Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Jika Ambang Batas Naik, Demokrasi Semakin Tertutup

Diperbarui: 19 Juni 2020   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: KOMPAS

Mungkin pada Pemilu 2024 hanya ada 4 sampai 5 partai politik yang lolos parliamentary threshold. Semakin sedikitnya partai politik yang hadir di parlement bisa terjadi bila ambang batas yang diusulkan dalam RUU Pemilu, oleh Partai Golkar dan Nasdem, sebesar 7 persen disepakati. 

Usulan itu masih diwacanakan sehingga bisa iya, bisa pula tidak. Bisa tetap mempertahankan ambang batas yang lalu, 4 persen, namun ada pula yang ingin menaikan ambang menjadi 5 persen.

Usulan ambang batas menjadi 7 persen tentu hal demikian akan disanggah oleh partai-partai menengah ke bawah dalam rapat-rapat penyusunan RUU Pemilu. 

Di jaman yang serba susah, di mana biaya politik semakin meningkat dan masyarakat semakin tidak percaya terhadap perilaku para politisi, pastinya untuk mencapai ambang batas tersebut akan semakin sulit. Mereka yang perolehan suara dalam Pemilu 2019 yang semakin dekat dengan zona degradasi, semakin khawatir bila ambang batas ditingkatkan. Jangankan 7 persen, 5 persen pun mereka ogah.

Sementara bagi para pengusul dinaikannya ambang batas, mereka dilandasi dalih bahwa jumlah partai perlu disedeharnakan agar kegaduhan politik semakin bisa dikurangi. 

Dengan semakin sederhananya jumlah partai, para pengusul berpikir biaya operasional politik terutama di parlement akan semakin mampu ditekan. 

Rivalitas antarpartai kuat karena jumlahnya banyak dan menimbulkan gesekan pada tingkat elit dan pada masyarakat bawah, disebut oleh para pengusul ambang batas hal demkian tidak akan terjadi bila jumlah partai semakin sedikit sehingga mudah dikendalikan.

Bijakkah bila dari waktu ke waktu ambang batas semakin ditinggikan dengan alasan untuk menyederhanakan jumlah partai dan menghemat biaya politik? Anggapan demikian bisa jadi anggapan yang subjektif. 

Tidak bisa dengan alasan untuk menyederhanakan jumlah partai dan menghemat biaya politik lalu kita memangkas saluran-saluran politik yang ada. 

Kondisi masyarakat Indonesia sering disebut terdiri dari beragam suku, bahasa, agama, dan perbedaan yang lainnya. Beragamnya masyarakat Indonesia tentu mereka membutuhkan banyaknya saluran politik. 

Tidak hadirnya utusan golongan di MPR saja menimbulkan permasalahan kebangsaan di bangsa ini saat ini, apalagi kelak bila saluran-saluran politik yang resmi semakin sedikit dan terbatas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline