Hujan deras yang turun di kota besar sering kali diikuti dengan pemandangan yang sama: jalanan berubah menjadi sungai, kendaraan terjebak, aktivitas lumpuh, dan warga harus berjuang menghadapi genangan air. Di Jakarta misalnya, data dari BPBD DKI Jakarta mencatat sepanjang awal 2024 saja, banjir telah menggenangi lebih dari 200 titik rawan. Hal serupa juga terjadi di kota besar lain seperti Bandung, Semarang, Surabaya, hingga Medan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah solusi banjir cukup dengan sekadar membongkar trotoar dan gorong-gorong untuk memperlancar aliran air? Atau justru ada masalah yang lebih mendasar yang kerap luput dari perhatian?
Pola Lama: Bongkar-Tutup Trotoar dan Gorong-Gorong
(https://kaltim.tribunnews.com/2025/01/02/bongkar-pasang-trotoar-jalan-juanda-sempat-disorot-warga-dukung-pemkot-samarinda-kurangi-banjir)
Setiap kali banjir melanda, pemerintah kota biasanya merespons cepat dengan proyek darurat: memperlebar gorong-gorong, menggali saluran air, hingga membongkar trotoar untuk memperbesar drainase. Langkah ini memang terlihat konkret dan memberi kesan bahwa pemerintah "bekerja".
Namun, jika kita melihat sejarahnya, pola ini berulang terus dari tahun ke tahun tanpa memberikan perubahan signifikan. Contohnya, pembangunan saluran gendong di Jakarta yang menelan biaya lebih dari Rp 1,2 triliun sejak 2017 ternyata belum juga mampu mereduksi banjir secara optimal. Penyebabnya sederhana: air hujan yang turun tidak hanya berasal dari trotoar, tapi juga dari limpasan permukaan yang jauh lebih luas, terutama dari kawasan pemukiman dan industri.
Dengan kata lain, membongkar trotoar dan gorong-gorong ibarat mengobati gejala, bukan akar masalahnya.
Penyebab Banjir di Kota Besar: Kompleks dan Saling Berkaitan
Banjir di kota besar bukan persoalan tunggal. Ada sejumlah faktor yang saling terkait, di antaranya:
Alih Fungsi Lahan
Kota besar mengalami urbanisasi cepat. Sawah, kebun, dan lahan terbuka hijau berubah menjadi beton dan aspal. Akibatnya, daya serap tanah berkurang drastis. Data Kementerian PUPR menyebutkan, Jakarta hanya memiliki 9,98% ruang terbuka hijau (RTH) pada 2023, jauh dari target minimal 30%.