Saat masih kecil, saya pernah tinggal di beberapa kota di Jawa Timur. Waktu di Kertosono, saya kelas 2-3 SD biasa suka bermain bekel dengan teman-teman wanita. Jarang sih, sebab saya lebih sering jualan sisa makanan kecil buatan mama di pasar. Saya bisa mainnya kalau di sekolah, waktu istirahat. Itulah kesempatan saya bermain. Dari Kertosono, saya pindah ke Pamekasan, Madura. Beberapa permainan yang saya mainkan, yaitu Engklek, Gobak Sodor dan Patel Lele atau Pentheng. Saya rasa permainan Engklek dan Gobak Sodor ini populer sekali di Indonesia. Sepertinya semua daerah mengenalnya, betul ngga ya? Patel Lele atau Pentheng ini salah satu permainan yang biasanya saya mainkan di saat libur panjang. Waktu itu saya mainnya dengan anak-anak tetangga. Lucunya saya tidak peduli gender. Padahal seharusnya Patel Lele atau Pentheng itu, dimainkan oleh yang satu gender. Kalau perempuan ya sesama perempuan, kalau laki-laki ya dengan sesama lelaki. Karena mainnya tidak segender maka ada beberapa rules yang disesuaikan.
Sebelumnya saya terangkan dulu, bahwa permainan ini hanya mempergunakan dua potong kayu lurus sebesar ibu jari orang dewasa. Bahan untuk alat permainan ini mudah diperoleh, karena terdapat di daerah sekitarnya. Biasanya saya hanya main, permainan yang alatnya ngga usah dibeli, alias gratis. Permainan ini tidak mempunyai hubungan dengan suatu peristiwa, baik keagamaan maupun upacara tradisional, jadi kapan saja bisa main. Kalau buat saya sih biasanya libur panjang, setelah selesai membantu mama saya belanja ke Pasar, dan tugas-tugas rumah lainnya.
Permainan ini sederhana dan mudah dimainkan oleh hampir semua anak yang bersifat hiburan saja. Walaupun ada sisi kompetitif juga karena ada lawan bermain dan ada ketentuan kalah menang.
Permainan penteng dimainkan oleh anak-anak paling banyak enam orang, kemudian dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok tiga orang anak. Selain dimainkan secara berkelompok permainan ini dapat pula dimainkan secara perorangan, yakni satu lawan satu hanya saja bila dimainkan secara perorangan terasa kurang mengasyikkan. Kadang kala saya mainnya juga berdua saja dengan salah satu anak tetangga. Tetapi permainan ini lebih asyik dimainkan secara berkelompok sehingga menjadi lebih semarak.
Sebenarnya pada umumnya penteng dimainkan oleh anak laki-laki, namun tidak tertutup kemungkinan bagi anak perempuan. Asal saja anggota kelompok permainan ini harus sama sejenis. Hal ini, disebabkan pada akhir permainan ada acara gindungan (bergendongan), yang kalah harus menggendong yang menang. Gindungan ini yang biasanya tidak kami lakukan, tetapi kami menggantinya dengan selentikan. Yang kalah diselentik yang menang. Pedas juga sih jari tangan saya kalau kalah... hehehehe.
Alat yang dipergunakan dalam permainan penteng terdiri dari dua bilah kayu sebesar ibu jari dengan ukuran yang berbeda, satu pendek dan satu lagi panjang. Kayu yang pendek, berukuran kira-kira 13 cm, disebut pangkene, sedangkan yang panjang berukuran kira-kira 39 cm disebut panglanjang. Kedua bilah kayu biasanya ini terbuat dari kayu gabus, atau dari bambu yang dipotong sedemikian rupa. Selain kedua alat tadi, juga diperlukan sebuah lubang kecil di tanah yang berukuran panjang antara 20—25 cm dengan lebar 5 cm dan dalam lubangnya kira-kira 5 cm. Lubang ini dipergunakan sebagai tempat penyoket (penyukit) pangkene oleh panglanjang.
Seharusnya pemain jika berkelompok berjumlah enam orang, tetapi karena sedikitnya anak yang seumuran, kami biasa bermain hanya berempat. Cara memilih kawan yaitu dengan melakukan “suten” untuk menentukan siapa-siapa yang termasuk teman bermainnya. Yang menang berkelompok sama yang menang dan yang kalah berkelompok dengan yang kalah. Jika telah ditentukan masing-masing anggota kelompok, selanjutnya diadakan kembali “suten” untuk menentukan kelompok mana yang mendapat giliran pertama bermain (alako kaada). Dua orang anak mewakili kelompoknya masing-masing melakukan “suten” alagi. Bagi kelompok yang menang dalam “suten” mendapatkan giliran pertama untuk alako (bekerja), sedangkan kelompok yang kalah bertugas untuk se ajaga (menjaga). Kalau main berkelompok ya.... :D
Jalan permainan penteng ini, terdiri dari beberapa tahapan yang harus diselesaikan oleh setiap pemain. Tahap pertama, yakni menyoket pangkene dengan panglanjang. Pemain pertama dari kelompok alako (kelompok I) akan menyoket, pangkene ditaruh melintang di atas lubang kecil dan disoket dengan panglanjang ke depan (lihat gambar).
Penyukit akan mengarahkan pangkene ke tempat yang tidak dijaga dan berusaha supaya pangkene tidak dapat ditangkap oleh lawan. Karena bila tiga kali berturut-turut pangkene tertangkap lawan, maka kelompok II akan menjadi se alako. Jika cukitan pertama tidak tertangkap oleh yang se ajaga , maka dari batas berhentinya pangkene oleh panglanjang yang ditaruh melintang di atas lubang. Jika pangkene mengenai panglianjang berarti penyukit pertama gagal dan diganti oleh penyukit kedua dari kelompok I. Juga dinyatakan gagal apabila cukitannya dapat ditangkap oleh kelompok II. Selanjutnya penyukit kedua sekarang melakukan cukitan dan kalau berhasil (artinya tidak tertangkap dan tidak mengenai panglanjang) ia dapat melanjutkan ke tahap berikutnya.
13734652931402736464
Pada tahap kedua, yaitu memukul pangkene dengan panglanjang. Kedua alat itu dipegang dengan tangan kanan, pangkene dilemparkan ke atas lalu dipukul dengan panglanjang (lihat gambar). Bila pangkene yang melayang tidak dapat ditangkap oleh lawan, kelompok I memperoleh nilai dengan cara mengukur jarak jatuh pangkene ke lubang, menggunakan panglanjang. Kalau pangkene dapat ditangkap oleh lawan dan dilemparkan kembali ke lubang, atau ketika jatuh dan ternyata masih bergerak lalu disepak ke arah lubang sehingga jarak pangkene ke lubang tidak lagi sepanjang panglanjang maka gagallah penyukit kedua itu. Bila masih dapat diukur baik di muka atau di belakang lubang, dianggap hidup dan memperoleh nilai. Maka pemain dapat melanjutkan tahap berikutnya.13734655291045188647
Pada tahap ketiga, yakni dengan memukul pangkene yang ditaruh memanjang dalam lubang dengan sebagian menonjol (mencuat) ke luar. Kemudian yang menonjol ke luar itulah yang dipukul sehingga meloncat ke atas lalu dipukul lagi oleh panglanjang ke depan (lihat gambar). Kalau pangkene tidak tertangkap oleh lawan, kelompok I memperoleh nilai lagi dengan mengukur jarak jauh terpelantingnya pangkene ke lubang dengan panglanjang. Untuk mendapatkan nilai yang lebih banyak lagi, bila pangkene pada waktu melesat ke luar dari lubang dapat dipukul dua kali (berarti terkena pukulan tiga kali tanpa menyentuh tanah) maka alat pengukurnya bukan panglanjang tetapi diukur dengan pangkene. Kemudian pemain melanjutkan tahap selanjutnya ialah metar. Di tahap metar ini, pangkene ditaruh di atas tangan kiri yang ditelungkupkan, lalu dilontarkan ke atas dan dipukul dengan panglanjang. Apabila lawan tidak berhasil menangkapnya maka kelompok I menambah nilainya. Jika pangkene yang dilontarkan ke atas dapat dipukul dua kali, maka alat penghitungnya pun pangkene sehingga nilai lebih banyak lagi. Permainan penteng yang merupakan permainan rakyat tradisional mempunyai arti yang penting dalam meningkatkan nilai-nilai budaya, terutama bagi pelaksanaan permainan. Permainan ini dapat mendidik anak-anak agar menjadi tahu bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini sangat berguna, seperti bambu yang menjadi bahan alat permainan ini. Bambu tersebut banyak sekali kegunaannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam meningkatkan nilai-nilai budaya, permainan penteng merupakan kegiatan permainan yang sifatnya hiburan tetapi mengandung gabungan dua unsur yakni unsur bermain dan berolah raga. Dalam unsur bermain, anak-anak yang terlihat dalam permainan ini dapat menikmatinya sebagai suatu permainan yang sangat mengasyikkan. Sedangkan dalam unsur olah raga, anak yang terlibat dalam permainan ini tentunya dapat membuat gerak permainan di mana setiap gerak permainan ini dapat diartikan sebagai olah raga yang dapat melenturkan otot-ototnya, yakni melatih ketrampilan dan ketangkasan anak-anak. Selain itu juga dapat mengembangkan daya pikir dalam menghitung nilai-nilai yang diperoleh. Apabila kita kaji latar belakang sosial budaya dari permainan ini, berasal dari permainan anak-anak yang dapat mendidik anak-anak dalam rangka proses sosialisasi, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam permainan ini antara lain: Rasa disiplin, karena pemain harus mematuhi peraturan-peraturan permainan yang telah disepakati bersama. Seperti, jika ada pemain yang melakukan kesalahan pada satu tahap permainan untuk menyelesaikan tahapan berikutnya, jadi temannya harus melakukan dari semula kembali. Nilai-nilai yang diperoleh dari masing-masing anggota kelompok disatukan (dijumlahkan) sehingga mencapai/memperoleh nilai yang telah ditentukan. Begitu pula dalam kelompok yang se ajaga, di sini nampak kerja sama di antara anggota pemainnya karena setiap anggota pemain selalu siap berjaga agar dapat menangkap pangkene yang terlempar ke atas. Ketika pangkene oleh yang aloko dilemparkan, maka salah seorang anggota kelompok yang se ajaga akan berusaha untuk menangkapnya sehingga kelompok yang alako menjadi mati atau tidak mendapat nilai, sehingga teijadilah pergantian pemain. Karena itulah, dengan hasil yang sama ini akan menumbuhkan rasa kesatuan dan persatuan. Ini sih kalau main dalam kelompok lhoooooo.... Tapi, main individu juga tetap bermakna, karena membiasakan sifat sportif. Saya tidak tahu apakah anak-anak sekarang masih memainkan permainan ini atau tidak. Tetapi, keponakan-keponakan saya sih, lebih sibuk main gadget daripada main seperti ini. Menurut saya, menurunnya minat anak-anak terhadap permainan penteng karena memang anak-anak sekarang waktunya lebih banyak tersita untuk berbagai kegiatan di sekolah mau pun masyarakat, sehingga waktu terluang tidak banyak seperti dahulu. Kalaupun ada waktu luang, mereka lebih tertarik bermain gadget atau games individual dengan lawan virtual. Padahal permainan tradisional sangat bermanfaat bagi anak-anak, khususnya dalam membangun karakter sportif dan kebersamaan yang membedakannya dengan permainan modern yang lebih bersifat individual. Berharap pelestarian permainan tradisional bisa mengurangi individualismenya anak jaman sekarang. Saya suka sedih melihat murid-murid saya yang susah berbagi dan tidak mau mengalah, ini kan karena kebanyakan main sendirian melawan computer atau games-nya toh??? Usaha promosi yang dilakukan http://www.indonesia.travel/ perlu didukung dan dibantu. Yuk, lestarikan permainan tradisional anak Indonesia dengan mengajak anak-anak kita memainkannya. Sumber foto: http://jawatimuran.wordpress.com/2012/09/17/penteng-permainan-rakyat-madura-jawa-timur/Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI