Lihat ke Halaman Asli

Anshory MuhammadKautsar

MAHASISWA - S1 TEKNIK KOMPUTER UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Semiotika Roland Barthes: Membaca Relasi Malas Berpikir dan Radikalisme

Diperbarui: 27 Oktober 2022   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Massa anarko meneriakan yel-yel ketika turut dalam aksi Hari Buruh di Taman Cikapayang Dago, Bandung, Jawa Barat, Rabu, 1 Mei 2019. Iqbal Kusumadirez

Krisis berpikir merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di era modern. Permasalahan ini hadir didasari oleh ketidakmampuan individu menganalisis dan memisahkan setiap informasi yang didapatkan di luar dirinya tanpa memandang informasi ini baik atau buruk. Ketidakmampuan ini menyebabkan munculnya paradigma partikularis atau bersifat sempit dalam sisi teoritis manusia. Tulisan ini akan menganalisisnya dengan semiotika Barthes

Paradigma Partikularis

Paradigma partikularis ini akan memengaruhi cara pandangan manusia untuk mengetahui sesuatu yang ia dapatkan melalui sebuah informasi yang terus diulang-ulang secara bertahap di realitas. Pengulangan informasi yang dilakukan akan memengaruhi persepsi individu untuk menyakini kebenaran dari informasi tersebut, tanpa adanya proses mencaritahu terlebih dahulu.

Permasalahan ini, selaras dengan pandangan Roland Barthes dalam teori semiotikanya untuk mengkaji tanda-tanda yang menggejolak dalam kehidupan manusia. Tanda dalam pandangan Roland Barthes dimaknai sebagai suatu informasi yang menyentuh perasaan hati manusia, seperti; permasalahan patah hati, keindahan Tuhan dan kerinduan terhadap kehidupan yang damai di tengah kesengsaraan.

Memahami Konotasi

Semua ini dibangun untuk mengangkat kondisi emosional manusia daripada memengaruhi cara menganalisis sesuatu yang bersifat indah dan Tuhan sebagai dua konsep berbeda. Roland Barthes menggunakan tanda-tanda yang bergejolak dalam diri manusia dengan istilah "konotasi". Konotasi sendiri secara pemaknaan ialah suatu perkataan yang memmengaruhi kondisi perasaan manusia untuk melihat suatu permasalahan di luar dirinya.

Roland Barthes benar-benar memahami, bahwa konotasi yang hadir sebagai tanda dalam kehidupan manusia yang tidak didasari oleh pendekatan literasi, yang didapatkan secara penalaran mendalam. Konotasi sendiri pertama dikaji oleh Roland Barthes melalui kehidupan masyarakat dahulu dengan melihat ragam mitos yang berkembang dalam kehidupan mereka.

Contoh persoalan di atas ialah mitos masyarakat Jawa tentang makan sambil tiduran, akan menjadi ular. Atau mitos dari masyarakat sunda dan beberapa masyarakat sulawesi, bahwa menabrak kucing hitam akan menimbulkan kesialan dalam kehidupannya. Semua mitos tersebut dibangun tanpa adanya basis literasi ilmu pengetahuan atau denotasi. Akan tetapi, lebih mengarah pada problematika perasaan yang terus diulangi hingga menjadi sebuah tanda yang menggejolak dalam diri manusia.

Konotasi dan Radikalisme

Relevansi teori konotasi dalam semiotika Roland Barthes dengan pertumbuhan radikalisme dapat diketahui melalui minimnya berpikir logis dalam kehidupan manusia. Manusia cenderung memahami sebuah informasi melalui perasaan yang menggejolak dalam dirinya tanpa mencaritahu kebenaran informasi tersebut. Pengetahuan yang didasari oleh perasaan yang menggejolak mendeskripsikan kekuatan emosional dalam dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline