Lihat ke Halaman Asli

anis sentus keasyah

mahasiswa STFT Widiya Sasana

Bullying Merusak Mental Kebebasan Seseorang

Diperbarui: 6 September 2022   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mahasiswa adalah orang yang bebas. Mereka adalah kumpulan generasi muda dewasa dan bertanggung jawab. Berbekal kecerdasan berpikir dan bertindak, mereka mampu menentukan hal terbaik bagi hidupnya. Tetapi, tidak jarang ditemukan beberapa mahasiswa yang belum mencapai taraf kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak, sehingga mereka merusak mental kebebasan orang lain.

Dewasa ini, tren dan gaya hidup generasi muda telah banyak berubah. Dari dampak perubahan itu, banyak mahasiswa yang melupakan jati dirinya sebagai pelajar. Sebaliknya, para mahasiswa berlomba-lomba memamerkan gaya hidup mewah dan mereka mulai lupa bahwa tugas mereka sebagai pelajar adalah belajar. Alhasil, kampus menjadi tempat bagi para mahasiswa untuk memamerkan kekayaan. Bahkan yang lebih buruknya di lingkungan kampus tidak lagi menjadi tempat belajar yang kondusif.

Mahasiswa merupakan dasar generasi bangsa. Namun seiring berjalannya waktu, mahasiswa mudah terbawa arus tren zaman. Mereka tidak mempunyai pondasi yang kokoh untuk memegang komitmen diri. Mereka seperti pohon yang berakar serabut yang mudah terbawa arus. Padahal mereka seharusnya menjadi pohon berakar tunggang yang mampu tetap bertahan di tengah arus zaman. Ini menjadi kecemasan bangsa kita. Bagaimana mungkin mahasiswa yang adalah generasi muda melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai masa depan negara?

Seperti sebuah kasus yang terjadi di Universitas Gunadarma dimana tiga orang mahasiswa mencerminkan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang mahasiswa. Ketiga mahasiswa ini melakukan perbuatan bullying terhadap salah satu mahasiswa yang terlihat miskin dan lemah. Mereka menarik tas dan baju anak tersebut, lalu meneriaki dan menertawakannya. Anak itu kemudian bertindak sebagai bentuk perlawanannya atas perbuatan ketiga mahasiswa tersebut. Akan tetapi, ketiga mahasiswa itu tidak mempedulikannya. Justru mereka menggunakannya sebagai bahan untuk bersenang-senang (nasional.tempo.co, Senin 17 juli 2017 "kasus bullying mahasiswa Gunadarma, Menteri minta pelaku dihukum").

Para mahasiswa yang melihat tindakan bullying juga tidak melakukan sesuatu untuk menghentikan perbuatan ketiga mahasiswa tersebut. Mereka justru hanya menonton dan mengabadikannya lewat kamera handphone. Dari peristiwa yang terjadi ini, kita dapat menilai bahwa mahasiswa telah mengalami krisis identitas. Mereka sungguh-sungguh tidak mencerminkan kualitas sejatinya sebagai seorang mahasiswa. Selain itu, tindakan dari mahasiswa lain yang hanya menonton Tindakan bullying juga perlu disorot. Mengapa mereka tidak menghentikan perbuatan tersebut? Ataukah mereka yang ada merasa senang dengan Tindakan bullying tersebut?

Tindakan bullying merupakan tindakan yang merusak, baik merusak mental maupun merusak kebebasan orang. Saya mengatakan demikian bukan untuk menyudutkan para pelaku bullying. Sebaliknya, saya ingin agar kita semua menyadari dampak dari perbuatan bullying.

Ketika seseorang mendapatkan tindakan bullying, secara tidak langsung para pelaku membangun batas-batas. Batas-batas yang dibangun itu mengakibatkan korban merasa segala yang dilakukannya akan mendapat penghinaan dan olokkan. Hal ini dapat membuat korban menjadi pribadi yang tertutup. Alhasil, kebebasan yang ada di pada setiap mahasiswa menjadi surut dan tidak dapat dikatakan sebagai kebebasan lagi.

Ketika korban menjadi orang yang tertutup, apakah para pelaku bullying mempedulikannya? Tidakkah kita ketahui bahwa dampak dari bullying itu membuat keluarga korban juga mendapatkan dampaknya. Keluarga akan dikucilkan dan menjadi bahan gosip. Tentunya ini menjadi suatu pukulan keras buat keluarga. Jika hal sampai terjadi, maka tidak hanya anaknya yang menjadi pribadi yang tertutup tapi semua keluarganya juga akan menjadi pribadi yang tertutup. Mereka akhirnya memutus jalinan relasi dengan orang-orang yang ada di luar mereka.

Selain itu, pihak kampus dan jajarannya juga akan mendapat tanggapan buruk dari para kalangan orang tua mahasiswa. Kampus akan dicap sebagai sarana yang tidak berkualitas dan bertanggung jawab. Akibatnya, kampus tersebut tidak lagi menjadi minat orang tua untuk menitipkan anak-anak mereka menuntut ilmu.

Kita mungkin merasa biasa-biasa saja saat ini, karena belum merasakan perbuatan bullying. Akan tetapi, kita tidak dapat menutup kemungkinan bahwa suatu saat, kita bisa saja menjadi korban bullying. Di saat itu, kita baru akan menyadari bahwa perbuatan bullying sungguh-sungguh perbuatan yang merusak mental dan merenggut kebebasan pribadi. Untuk itu, kita harus berani menentang dan menolak tindakan bullying.

Ketika saya merenungi perbuatan bullying, saya sadar bahwa perbuatan ini tidak hanya terjadi di lingkungan kampus. Tetapi perbuatan ini telah terjadi di jenjang lingkungan Pendidikan lainnya. Maka dapat dikatakan bahwa perbuatan bullying tidak asing di setiap jenjang Pendidikan. Pendidikan adalah sarana bagi generasi muda untuk belajar. Akan tetapi, perbuatan bullying masih sering terjadi di ranah Pendidikan. Jika demikian, bagaimana mungkin para generasi muda bangsa kita dapat menjadi penerus yang berkualitas dan berkompeten? Oleh sebab itu, kita semua harus berjuang mencegah perbuatan bullying, agar anak-anak generasi muda dapat merasakan kebebasan dalam mengekspresikan diri di dalam proses pendidikannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline