Lihat ke Halaman Asli

Paradoks Pengembangan Ekowisata di Desa

Diperbarui: 1 Maret 2020   02:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | (KOMPAS.COM/RONNY ADOLOF BUOL)

Patut disyukuri, Indonesia dengan keragaman budaya, suku, bahasa dan keunikan wilayah adalah lanskap alami yang menyimpan rahasia juga daya tarik tinggi. Di sanalah spot-spot wisata itu bisa dikapitalisasi dan dimodifikasi sehingga layak dikunjungi. Memenuhi standar ecotourism (ekologi, ekonomi, sosial-budaya, edukasi, pengalaman, kenangan dan kepuasan) -- dan yang terpenting adalah memenuhi standar wisata ramah lingkungan.

Beberapa tahun terakhir, desa-desa di Indonesia bergegas mengeksplorasi potensi wisatanya. Ruang-ruang otentik yang ada di sungai, di pesisir, bukit dan pegunungan mulai dilirik lebih serius sebagai basis eco-wisata.

Kesadaran bahwa di lingkungan terdekat kita menyimpan sesuatu yang spektakuler dan menjanjikan mulai bertumbuh. Tak sekadar sebagai sebuah potensi bernilai ekonomi---tetapi juga sebagai ikon dan utamanya sebagai upaya membangkitkan kebanggaan pada kampung sendiri.

Potret pengelolaan ekowisata di desa

Sebagai contoh, sejak 2017 silam, ada wisata alam bernama "Rammang-Rammang"di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan yang jadi buah bibir di mana-mana. Terletak di Desa Salenrang Kabupaten Maros dan hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Makassar.

Tempatnya amat eksotik karena dikelilingi karst Maros yang dikenal terbaik kedua di dunia. Akses menuju Rammang-Rammang juga tak kalah menariknya, pengunjung menyusuri sungai dengan perahu kecil, sembari mengamati gugusan karst dan area persawahan yang apik.

Sejak awal, tempat itu diprediksi bakal mendunia. Pada Rakernas Indonesia Marketing Association (IMA) 2017 di Balikpapan, Rammang-rammang diperkenalkan sebagai lokus baru yang layak dikunjungi sebagai satu pesona Indonesia (wonderful Indonesia).

Bukan tanpa alasan, Rammang-Rammang memiliki potensi yang marketeble di masa mendatang. Faktanya, hingga saat ini, wisata Rammang-Rammang jalan di tempat, pesonanya tergerus karena tak terkelola maksimal.

Bukan hanya soal infrastruktur yang tidak memadai, faktor keamanan dan kenyamanan---di Rammang-Rammang misalnya belum disiapkan tawaran alternatif yang membuatnya selalu dirindukan. Tak ada villa di dalam area wisata, tak ada aneka kuliner khas lokal bernuansa alami, pagelaran budaya, atau konsep wisata ramah lingkungan. Ini membuat wisatawan berpikir seribu kali untuk berkunjung kedua kalinya.

Hal yang sama saya jumpai saat berkunjung di wisata mangrove Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Kawasan ini tergolong menarik sebagai kawasan ekowisata mangrove, tetapi pengunjung hanya sebatas menyaksikan hutan bakau, panorama laut beserta angin sepoinya.

Pengunjung belum disajikan kuliner khas pesisir, makanan dan minuman berbahan bakau, atau fasilitas jelajah hutan bakau. Bahkan, sangat disayangkan, kubangan sampah begitu massif, merusak pemandangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline