Lihat ke Halaman Asli

Anis Contess

TERVERIFIKASI

Penulis, guru

Alhamdulillah, Saya Masih "Miskin"

Diperbarui: 23 Februari 2021   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doc.pri

Senja sore kemarin, awan pekat pun deras hujan menutupi langit kota asal suami saya lahir. Yang kemudian menjadi tempat bermukim. Pujon gulita. Tanpa cahaya jingga, kecuali bohlam-bohlam yang memancar dari beberapa rumah penduduk.

Rebah berselimut menjadi alternatif paling menyenangkan, sambil menatap beberapa sudut dalam rumah yang tergenang air. Bocor di mana-mana, ember panci merupakan piranti wajib penampung tetesan hujan. Agar tak mengalir ke lantai.

Entah berapa liter yang akan mampu ditampung. "Semoga cukup", doa jangka pendek yang saya panjatkan.

Jangka panjang? Tentu punya biaya manggil tukang untuk memperbaiki genteng atau apa saja yang menjadi penyebab bocor.

Alhamdulillah, secara finansial saya masih miskin, hingga menyelamatkan kebocoran dari rumah saja saya tidak mampu. Namun saya tetap bersyukur, kalau ada yang bocor berarti saya punya tempat berteduh, dibanding mereka yang ngemper, hidup di kolong jembatan.

Ah, lupakan. Bicara tentang kekurangan tak kan ada habisnya. Keluh itu biasa, makanya saya berucap Alhamdulillah untuk segala keadaan, tersusah sekalipun. Karena satu hal, nikmat bernapas masih saya miliki. Memberi saya kesempatan bertaubat, sebelum ajal menjemput dan saya tak bisa berucap hamdalah lagi lewat mulut ini.

Miskin, begitu kata orang-orang yang strata hidupnya jauh di atas untuk keadaan saya. Meski saya tidak mengakui, kalau dikategorikan demikian oleh para terhormat itu, tak mungkin saya mengelak. 

Nyatanya begitu. Rumah numpang mertua, baju itu-itu saja. Makanan sehari-hari ya ukuran rakyat jelata, yang penting ada nasi, sama kecap saja jadi. Kendaraan sepeda butut tua peninggalan suami. Tidak ada yang bisa dianggap sepadan bahkan bila disandingkan sosialita kelas RT saja.

Soal gelar pendidikan apalagi. Tidak panjang. Saya cuma S.Ag. Tidak ada Doktor apalagi profesor.

Jadi ketika di sore yang muram kemarin ada seseorang mengkonfrontasi saya tentang kapabilitas menjadi ketua sebuah lembaga di Kabupaten saya, Malang. Ya wajar. Saya legowo, tidak ada ganjalan atau minder berkepanjangan.

Mengingat di pengurusan sebelumnya, jabatan pengurus dan ketua dijabat oleh orang-orang terhormat. Beragam gelar, S2 dan S3 dengan posisi jabatan menyeramkan di masing-masing institusi asalnya. Dan tentu, mereka seleb di lingkungannya. Pokoknya memenuhi syarat dihormati. Kaya, intelek, terpandang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline