Lihat ke Halaman Asli

Andre Vincent Wenas

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Komunisme, Kapitalisme, Teknologisme: Jalan Antara Menuju Ekonomi Pancasila?

Diperbarui: 6 Januari 2020   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

*Komunisme, Kapitalisme, Teknologisme: Jalan Antara Menuju Ekonomi Pancasila?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Ketika Uni Soviet runtuh orang bilang 'The End of Communism'. Tapi, waktu para jagoan pasar bebas (free-market champions) seperti Lehman Brothers, Enron, Arthur Andersen dan berbagai perusahaan dotcom ambruk maka orang juga bilang 'The End of Capitalism'.

Nah, kalau sudah dua ideologi besar (main-stream) seperti itu roboh, maka orang teringat tentang 'The End of Ideology-nya Daniel Bell. Hebatnya, ia sudah menuliskannya sejak era 1960an dulu.

Hipotesa Daniel Bell yang bilang bahwa  ideologi politik telah makin irrelevant di kalangan orang berakal sehat. Kenapa? Karena masyarakat masa depan akan lebih didorong atau ditarik oleh pergerakan teknologi!

Dari Thomas Friedman (The World Is Flat) kita tahu bahwa Tembok Berlin jadi rata dengan tanah lantaran teknologi informasi yang menjadi salah satu penyebab demokratisasi arus informasi ke segala penjuru. Tak ada mekanisme sensor yang cukup kuat untuk menghadang laju diseminasi informasi di era teknologi digital sekarang ini. Dan tatkala Tembok Berlin sebagai simbol kekakuan pemerintahan otoriter roboh, dampak gulungan ombaknya sampai ke Kremlin, Mikhail Gorbachev akhirnya turun tahta. Uni-Soviet berserakan.

Jadi apa yang tersisa? Ideologi apa lagi yang bisa ditawarkan untuk jadi acuan bersama? Teknologisme-kah? Saya sendiri belum tahu.

Masih banyak pertanyaan mengenai teknologi ini sendiri. Teknologi seperti apa? Netralkah dia? Siapa di belakang perkembangan teknologi ini? Ada kepentingan apa dibalik teknologi tertentu? Apa manfaatnya? Bagaimana etika dalam pemanfaatan teknologi itu? Dlsb.

Ideologi sebagai suatu cara pandang, suatu gagasan (ide) yang disistematisasi (jadi logos). Ideologi yang dengan rasa kagum dipercayai jadi semacam idola. Mengidolakan ideologi secara membabibuta, memuja tanpa pakai akal sehat bakal menyeret orang jadi memberhalakannya (idolatry).

Jadi oleh karena itu kita mesti sangat berhati-hati dalam mendekati dan memahami suatu ideologi, apa pun itu. Kritik-ideologi jadi imperatif, yang tanpanya kita cuma jadi seperti segerombolan tikus yang bisa digiring sang peniup suling kemana pun ia mau. Celakanya bisa juga digiring masuk ke jurang api.

"Now that the free market has failed, what do you think is the proper role for the state in the economy?" (kalau pasar bebas juga sudah gagal, bagaimana sebaiknya peran negara dalam perekonomian?)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline