Lihat ke Halaman Asli

Andrean

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Bina Bangsa

Krisis Keluarga Hirako

Diperbarui: 25 Maret 2025   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: unsplash.com

Gemercik air hujan saling bersahutan riuh kala malam semakin mendekat, begitu pun kabut abu-abu yang perlahan memburamkan Bandung dalam pandangan indra kala itu. Suhu dingin semakin terasa menusuk begitu adzan magrib berkumandang dengan syahdu, meski tetesan duka kehilangan semakin menggila pada diri seorang remaja laki-laki yang tak henti-hentinya menangis.

Ia pun senantiasa memeluk makam kedua orang tuanya seorang diri. Bahkan ia tak peduli sekujur tubuhnya basah kuyup dihantam air hujan, pun suhu dingin yang seakan tak terasa sama sekali oleh raganya yang seolah mati rasa, entah sudah berapa lama pelukan erat dan seringai tangisnya menderu mendekap kedua makam orang tuanya. Tentu saja si remaja laki-laki itu masih tak terima dan tak menyangka secepat itu Tuhan memanggil Hirako dan Emilia pergi ke dalam pangkuannya.

Nyatanya kepulangan Tuan Hirako dan Nyonya Emilia memang tidak terduga. Beberapa bulan yang lalu ketika keluarga Hirako memutuskan untuk membuka sebuah kedai kecil nuansa jepang bermodalkan nekat uang pesangon di rumah sederhananya, tepat di dalam sebuah gang agak sempit di dekat kawasan Braga. Tuan Hirako yang baru saja di PHK dari kantor perusahaan swasta lima bulan yang lalu itu harus memutar otaknya demi memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Krisis keuangan keluarga semakin mencekik ketika tagihan SPP sekolah Raka tampak hampir memecahkan isi kepala kedua orang tua itu, kedainya sepi tak ada yang berminat mampir seorang pun, kecuali seorang anak gelandangan yang setiap pagi mampir ke kedainya meminta sesuap nasi, pun tagihan listrik yang menumpuk horor di meja berlumur debu menanti listrik mereka diputus pihak perusahaan.

"Kita mau pinjam uang ke mana lagi? Pak Budi saja sudah menagih hampir beberapa kali minggu ini," cetus Emilia menatap lesu Hirako dengan mata penuh putus asa. Jelas ibu rumah tangga itu pun sudah bingung kepalang bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar SPP anaknya yang masih duduk di bangku SMA, bahkan uang dapur pun masih tak cukup mengisi perut mereka.

Mereka tidak mungkin mencuri atau melakukan tindakan kriminal dan harus berurusan dengan hukum demi mendapatkan puluhan lembar uang, Tuan Hirako yang sudah kehabisan ide menyenderkan tubuhnya duduk termangu di sebuah sofa panjang menopang erat dahinya sembari menarik sedikit nafas peluh amat berat. Entah pikiran apa yang seketika membuat matanya tertuju pada ponsel milik Raka yang tergeletak di atas meja.

"Raka, apa kamu masih menyimpan nomor Bibi Hanaoka? Atau keluarga kita di Osaka dan Tokyo?" Tanyanya serius menatap memastikan nomor-nomor telefon berharga kerabat mereka di Jepang masih tersimpan apik di dalam kontak ponsel Raka. Tentu, alasan Tuan Hirako masuk akal menanyakan kontak keluarganya di sana, karena mereka sudah tidak memiliki kerabat lagi di Indonesia setelah kepulangan ibunya Emilia karena Covid tahun lalu.

"Ya, mungkin masih ada beberapa," ia tentu mengerti, dengan cepat membuka daftar kontak di ponselnya.

Layar biru gawai itu terus ia geser berkali-kali, dari atas ke bawah hingga sebaliknya dari bawah ke atas menghiraukan berbagai macam tumpukan nomor yang tidak terhitung kiranya, setiap kali Raka menemukan nomor yang diinginkan Hirako ia dengan cekatan mencatatnya ke dalam buku harian coklat kecil yang kertasnya tampak sudah terlihat lusuh menguning.

Nomor-nomor incaran Hirako kini telah terkumpul sepenuhnya, namun dari kesepuluh nomor telepon itu hampir semuanya tidak bisa mereka hubungi, meski telah mencoba berulang kali dengan penuh penasaran namun hasilnya nihil tetap tak ada jawaban. Kini dua nomor sisanya yaitu Bibi Hanaoka dan Tuan Takaeda menjadi harapan dan penentu nasib mereka atau hanya angan semata bagi keluarga yang diambang krisis moneter itu.

Getaran suara ponsel raka terdengar lirih menyimpan harapan besar tuk segera mendapatkan jawaban secepatnya, satu keluarga itu kini takzim memperhatikan layar ponsel dengan huruf kanji yang terpampang jelas bertuliskan nama Hanaoka. Tak ada jawaban! Paman Takaeda kini menjadi harapan satu-satunya bagi mereka. Panggilan telepon dimulai, satu panggilan tak terjawab. Mereka pun tak menyerah, panggilan telepon terus berulang kali mereka lakukan meski dengan hasil yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline