Oleh: Andiva Qur'aini Sumaga
Yogyakarta, 12 Oktober 2025
Gerakan Organisasi Pecinta Alam atau Kelompok Pecinta alam (KPA) di Indonesia tidak lahir dari ruang kosong, dan tentu bukan sekadar ajang hobi mendaki gunung atau menjelajah rimba. Sejak awal kemunculannya pada era 1960--1970 an, khususnya di lingkungan kampus, KPA berdiri di atas fondasi idealisme yang kuat seperti semangat konservasi, solidaritas kemanusiaan, dan tanggung jawab moral terhadap kelestarian bumi. Para perintisnya memaknai "cinta alam" bukan sekadar slogan romantik, melainkan sebagai bentuk kesadaran ekologis dan sosial yang mendorong aksi nyata menjaga kehidupan. Mereka berperan sebagai penjaga nilai-nilai ekologis, menegakkan etika lingkungan, dan membangun kedekatan spiritual antara manusia dan alam.
Namun, seiring waktu, semangat luhur itu perlahan mengalami erosi. Di tengah menjamurnya organisasi pecinta alam di berbagai daerah khusunya di Sulawesi Utara, muncul fenomena yang mengindikasikan pergeseran orientasi. Aktivitas KPA dewasa ini tampak semakin masif secara kuantitas, tetapi kehilangan kedalaman makna secara kualitas. Gerakan yang dahulu menjadi wadah perjuangan dan refleksi ekologis kini lebih sering terjebak dalam rutinitas simbolik. Aktivitasnya kini sekadar mendaki gunung, menjelajah alam liar, atau melakukan penanaman pohon yang bersifat seremonial dan terpisah dari konteks struktural penyebab kerusakan lingkungan.
Fenomena ini menunjukkan adanya keterasingan KPA dari perlawanan struktural. Banyak kelompok pecinta alam tampak abai terhadap dinamika kekuasaan yang sesungguhnya menjadi akar persoalan ekologi. Ketika perusahaan tambang merusak hutan, ketika korporasi mencemari sungai, atau ketika masyarakat adat terusir dari tanah leluhurnya, sebagian besar KPA memilih diam. Padahal, dari sisi moral dan historis, mereka seharusnya menjadi garda depan dalam memperjuangkan keadilan ekologis.
Kesadaran ekologis sejati tidak berhenti pada kekaguman terhadap keindahan alam, melainkan meluas ke pemahaman tentang relasi kuasa yang menindas dan merusak ekosistem. Alam tidak rusak karena alam itu sendiri, tetapi karena adanya sistem ekonomi politik yang menormalisasi eksploitasi. Oleh sebab itu, tanggung jawab pecinta alam mestinya melampaui batas kegiatan rekreatif menuju kesadaran kritis untuk melawan sumber-sumber perusakan yang sistematis.
Kondisi inilah yang dapat disebut sebagai "hijau yang hampa" di mana gerakan yang tetap mengenakan simbol konservasi dan jargon cinta alam, tetapi kehilangan keberpihakan terhadap isu-isu keadilan lingkungan. Warna hijau yang dulu menjadi lambang perjuangan kini berubah menjadi identitas tanpa isi yakni hijau di permukaan, tetapi kosong di dalam.
Sudah saatnya KPA melakukan refleksi kolektif: apakah mereka akan terus menjadi penonton pasif di tengah krisis ekologis, atau kembali ke akar idealismenya sebagai agen perubahan? Menjadi pecinta alam tidak cukup dengan menapaki puncak gunung atau menanam seribu bibit pohon. Pecinta alam sejati adalah mereka yang berani menapaki jalan terjal perlawanan melawan sistem yang merusak bumi dan memperjuangkan kehidupan di dalamnya.
Menggugat Keabsenan Politik: Dari Etika Survival Menuju Etika Perlawanan
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan organisasi dan komunitas Pecinta Alam (KPA) masih memiliki peran penting di tengah krisis lingkungan yang semakin kompleks. KPA bukan sekadar wadah bagi para pencinta kegiatan alam bebas, tetapi juga ruang pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai etika ekologis, tanggung jawab sosial, dan kemampuan bertahan di alam. Dari pelatihan mountaineering, navigasi, hingga aksi kemanusiaan dan tanggap bencana, KPA telah menorehkan kontribusi nyata dalam membangun karakter generasi yang peduli lingkungan dan sesama manusia. Dalam banyak hal, mereka adalah representasi etika "survival" kemampuan bertahan hidup yang berpadu dengan rasa hormat terhadap alam.
Namun di balik peran positif tersebut, tersimpan satu ironi mendasar yakni sebagian besar organisasi Pecinta Alam tampak kehilangan arah dalam membaca konteks politik yang mengitari krisis ekologi. Mereka memang mahir bertahan di gunung, tapi sering kali gagap ketika harus bertahan di tengah sistem yang menghancurkan gunung itu sendiri. Kegiatan konservasi teknis dan kemanusiaan berjalan dengan baik, tetapi keterlibatan mereka dalam perjuangan struktural melawan kebijakan eksploitatif, oligarki tambang, atau korporasi perusak lingkungan hampir tak terdengar.