Industri rokok di Indonesia bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menyokong penerimaan negara dan menopang perekonomian daerah, tetapi di sisi lain ia menanggung beban eksternalitas negatif yang luas, mulai dari biaya kesehatan hingga kerusakan lingkungan dan hilangnya produktivitas. Di tahun 2024, penerimaan cukai hasil tembakau tercatat Rp216,9 triliun. Jika dibandingkan dengan total pendapatan negara 2024 (sekitar Rp2.842,5 triliun), porsi cukai hasil tembakau berada di kisaran 7,6% menunjukkan kontribusi fiskal yang signifikan.
Secara keseluruhan, sepanjang rantai nilai tembakau, dari petani di lahan, buruh pabrik pengolahan, hingga tenaga distribusi dan penjualan, diperkirakan menyerap hingga 6 juta orang.
Kontribusi industri terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi penghasil tembakau juga material. Jika dihitung dari porsi sub-sektor pengolahan terhadap manufaktur dan proporsi manufaktur terhadap PDRB, estimasi konservatif menunjukkan kontribusi mendekati ~7,2% di Jawa Timur dan ~5,0% di Jawa Tengah, angka yang sejalan dengan peranan sentra industri tembakau di kedua provinsi.
Namun, perhitungan kasar yang hanya menimbang penerimaan fiskal dan penyerapan tenaga kerja akan menutup mata terhadap biaya tersembunyi yang ditanggung masyarakat dan negara. Berbagai studi dan ringkasan kebijakan mengindikasikan bahwa beban ekonomi akibat rokok sangat besar. Satu studi makro yang sering dirujuk memperkirakan total biaya ekonomi (termasuk biaya medis, kehilangan produktivitas, dan belanja rumah tangga untuk rokok) sekitar Rp595 - 600 triliun per tahun pada estimasi komprehensif. Jika menggunakan estimasi konservatif yang hanya menghitung biaya medis langsung, angka yang dipakai dalam kebijakan publik seringkali berada di kisaran ratusan triliun, tetapi umumnya jauh di atas penerimaan cukai.
Dalam kerangka perhitungan yang lebih terperinci, beberapa komponen biaya yang relevan meliputi klaim layanan kesehatan terkait penyakit akibat rokok (misalnya klaim BPJS untuk penyakit utama terkait rokok) yang diperkirakan berada di sekitar Rp10–12 triliun per tahun pada beberapa studi/estimasi; kehilangan hari kerja dan produktivitas akibat penyakit dan kematian dini yang pada sejumlah kajian makro berkontribusi ratusan triliun jika digabungkan; serta kerugian akibat rokok ilegal yang dalam kajian pemerintahan dan penegakan hukum terkadang diperkirakan sekitar Rp15–25 triliun per tahun, bergantung pada asumsi metode.
Lebih jauh lagi, aspek sosial dan lingkungan turut menambah panjang daftar kerugian. Sebuah keluarga perokok cenderung mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk pembelian rokok yang berdampak pada daya beli dan kesejahteraan rumah tangga, sementara konsumsi rokok domestik mencapai ratusan miliar batang per tahun (perkiraan beberapa tahun terakhir menunjukkan angka konsumsi mendekati ~322 miliar batang), menghasilkan puntung dengan beban sampah puluhan ribu ton (perkiraan konservatif ~107 ribu ton/tahun). Lahan yang digunakan untuk tembakau nasional juga lebih besar dari angka lama: statistik perkebunan terbaru menunjukkan luas lahan tembakau mendekati ~192 ribu hektare, dengan implikasi terhadap erosi, penggunaan input pertanian, dan konversi lahan.
Skenario konservatif (angka riil): penerimaan cukai sebesar Rp216,9 triliun (DJBC, 2024). Untuk komponen lain yang berhubungan langsung dengan penerimaan fiskal dan biaya terukur, angka-angka primer yang tersedia adalah sebagai berikut: klaim layanan kesehatan terkait penyakit akibat rokok yang tercatat dalam studi/estimasi dan laporan BPJS berada pada kisaran Rp10–15 triliun/tahun; kerugian akibat peredaran rokok ilegal mendapat estimasi pemerintahan dan penegakan yang konservatif di kisaran Rp15–25 triliun/tahun; penindakan Bea Cukai pada sejumlah kasus menghasilkan potensi pemulihan atau pencegahan kerugian senilai Rp3,9 triliun (contoh kasus penindakan tertentu, 2024); sementara konsumsi domestik berada pada skala ratusan miliar batang per tahun (estimasi 2020: ~322 miliar batang) yang menghasilkan beban puntung sekitar ~107.333 ton/tahun.
Jika kita memasukkan hanya komponen terukur di atas ke dalam perhitungan fiskal (penerimaan cukai minus klaim BPJS dan kerugian ilegal), maka perhitungan sederhana menunjukkan penerimaan cukai Rp216,9 T dikurangi klaim BPJS (Rp10–15 T) dan kerugian ilegal (Rp15–25 T) menghasilkan sisa kas fiskal sekitar Rp176,9–191,9 triliun. Namun, jika memasukkan estimasi biaya makro-ekonomi yang sering dikutip oleh Kementerian Kesehatan (studi 2015) yakni ~Rp595–600 triliun, yang mencakup biaya medis langsung, kehilangan produktivitas, belanja rumah tangga untuk rokok, dan kematian dini, maka industri tembakau berubah menjadi sumber defisit sosial-ekonomi yang jauh lebih besar daripada manfaat fiskal terlihat.
Defisit tersebut belum memperhitungkan indikator kesehatan jangka panjang seperti years of life lost (YLL) dan disability-adjusted life years (DALY), maupun elastisitas konsumsi rokok terhadap kenaikan harga atau potensi substitusi ke produk alternatif seperti e-cigarette dan HTP (Heat-Not-Burn). Menurut GATS 2021, 34,5% orang dewasa (15+) di Indonesia menggunakan tembakau (sekitar 70,2 juta orang), dengan prevalensi tertinggi pada laki-laki (65,5 %) dan sangat rendah pada perempuan (3,3 %). Laporan Tobacco Atlas 2022 memberikan angka serupa: 36,7% dewasa perokok (15+), dengan prevalensi pada laki-laki hingga 71,2%. Jika prevalensi tidak segera turun, kapasitas sistem kesehatan nasional dan produktivitas ekonomi akan terus tertekan.
Maka, untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomis dan kesejahteraan masyarakat, diperlukan rangkaian kebijakan terpadu. Rekomendasi yang sejalan dengan bukti dan praktik global meliputi: (1) kenaikan tarif cukai minimum secara riil (misalnya target kenaikan tahunan di atas inflasi), dengan struktur progresif yang membedakan produk kretek, rokok putih, dan HTP; (2) alokasi proporsional penerimaan cukai untuk program kesehatan (rehabilitasi berhenti merokok, skrining dini, dan edukasi publik); (3) pelarangan iklan rokok di semua media, dari televisi hingga platform digitai disertai penegakan hukum; (4) penerapan sistem tracer/tracking pada kemasan rokok untuk meminimalkan peredaran ilegal; dan (5) program diversifikasi ekonomi bagi petani tembakau (subsidi transisi, pelatihan budidaya alternatif, dan dukungan pasar).
Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia tidak hanya akan memperkuat basis fiskal melalui cukai, tetapi juga mengurangi beban kesehatan, memulihkan produktivitas, dan melestarikan lingkungan. Pendekatan holistik semacam ini adalah kunci agar manfaat ekonomi jangka pendek tidak menelan kerugian sosial-ekonomi dan ekologis yang jauh lebih besar di masa depan.