Ramadan kali ini, suasana terasa berbeda. Sepi.
Langit mulai berubah jingga ketika suara azan magrib berkumandang dari kejauhan. Itu pertanda waktunya berbuka. Tapi anehnya, tidak ada suara lain yang menyertainya. Tidak ada bunyi sendok beradu dengan piring. Tidak ada suara bocah-bocah berlarian membawa plastik berisi gorengan. Tidak ada orang-orang bergegas menuju meja makan.
Hanya suara azan. Menggema. Lamat-lamat.
Makanan sudah tertata di meja. Secangkir teh masih mengepul, dan kurma sudah disiapkan di piring kecil. Tapi entah kenapa, tangan ini enggan menyentuhnya. Ada sesuatu yang terasa janggal.
Di luar, jalanan lengang. Rumah-rumah tetap tertutup, tanpa tanda kehidupan. Biasanya, di bulan Ramadan, semua terasa lebih hidup---tetangga saling bersahutan, suara televisi dari rumah ke rumah, aroma masakan menyeruak dari dapur-dapur. Tapi kali ini, tidak ada.
Hanya ada azan.
Dan yang lebih aneh, azan itu tidak kunjung selesai.
Seharusnya hanya beberapa menit, tapi ini... sudah terlalu lama. Suaranya tetap mengalun, tetapi tidak mencapai akhir. Seakan kembali ke awal setiap kali hampir selesai. Seperti rekaman rusak yang terus mengulang bagian yang sama.
Aku melirik meja di depanku.
Sepiring gorengan. Segelas teh yang uapnya perlahan memudar. Kurma tersusun rapi di piring kecil. Semuanya ada. Tapi entah kenapa, tanganku enggan menyentuhnya. Ada sesuatu yang terasa... janggal.
Aku menoleh ke luar jendela. Tidak ada siapa-siapa. Biasanya anak-anak kecil berlomba memainkan petasan, bapak-bapak bercengkrama di teras rumah, ibu-ibu sibuk dengan piring di tangan. Tapi kali ini, sunyi.