Lihat ke Halaman Asli

UMI KONAAH

Mahasiswa UIN Walisongo

Integrasi Jamu terhadap Pelayanan Kesehatan Formal pada Masa Pandemi Covid-19

Diperbarui: 19 November 2020   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kontributor : Almah Wiladatika, Mahasiswa KKN RDR Kelompok 67 UIN Walisongo Semarang

Pelayanan kesehatan strata pertama didominasi oleh pengobatan konvensional terutama di negara -- negara maju di Eropa dan Amerika namun, saat ini pengobatan alternative mulai diterima kususnya di ngara Asia seperti Korea, Tiongkok, Jepang termasuk Indonesia. Indonesia memiliki jamu sebagai ramuan warisan turun temurun untuk memelihara kesehatan dan menyembuhkan penyakit. 

Berdasar Riset kesehatan dasar (2010), menunjukkan bahwa 49,53% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan. Dari penduduk yang mengkonsumsi jamu, 95,6% merasakan manfaat dari jamu yang diminum.

Meski telah ada data dan bukti secara sosial bahwa jamu telah diterima oleh masyarakat, namun jamu belum dapat diterima dengan baik oleh kalangan profesi medis sebagai alternatif pengobatan. Pada masa pandemi Covid-19, pengobatan pertama yang menjadi garda terdepan untuk memerangi virus Corona ialah pengobatan konvensional. 

Negara negara lain di dunia termasuk Indonesia mulai mengembangkan berbagai macam vaksin yang dapat dibuktikan ampuh untuk membasmi virus corona. 

Padahal Indonesia mempunyai 2.800 spesies tumbuhan obat yang terbukti dari riset tumbuhan obat dan jamu yang dilaksanakan oleh Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Database pengetahuan etnofarmakologi berupa ramuan obat tradisional sebanyak 33.000 ramuan yang secara empiris terbukti mampu menjaga kesehatan masyarakat.

Pemanfaatan jamu secara luas di masyarakat dapat didorong dengan program Kementerian Kesehatan yaitu Gerakan Nasional Bugar dengan Jamu (Gernas Bude Jamu) yang sampai saat ini masih digaungkan. Selain untuk diterima di masyarakat, jamu dapat diterima di kalangan profesi medis dengan program Saintifikasi Jamu. 

Dimana program ini menggunakan pendekatan penelitian berbasis pelayanan. Pelaku program Saintifikasi Jamu adalah para dokter dengan menggunakan metodologi penelitian holistik dalam menguji manfaat dan keamanan jamu, sehingga uji klisnis tidak saja diukur dengan ukuran objektif tetapi juga subjektif.

Saintifikasi Jamu adalah terobosan dalam rangka mempercepat penelitian di sisi pelayanan yakni pengujian terkait manfaat keamanan jamu untuk upaya promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif. Berdasar Keputusan Menteri Kesehatan no. 1334 tahun 2010 dibentuklah Komisi Nasional Saintifikasi Jamu (Komnas SJ) dengan tugas dan wewenang untuk mengawasi dan membina pelaksanaan Saintifikasi Jamu. 

Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai bahan uji pada program ini berupa obat herbal berstandar, ekstrak dalam bentuk tanaman tunggal dan bentuk lainnya. Dengan ini dapat didapatkan bukti secara ilmiah tentang manfaat dan keamanan jamu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline