Lihat ke Halaman Asli

"Menyampah" di Ruang Publik

Diperbarui: 10 Juli 2020   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi stres karena media sosial (Sumber: emapoket via Kompas.com)

Di era digital yang semua serba sosial media, tidak asing dijumpai pertikaian antara satu orang dengan orang lain beserta netizen yang turut ambil bagian, atau pertikaian antara public figure dengan netizen.

Tidak jarang hal ini lantas menjadi isu yang hangat diperbincangkan oleh orang-orang baik dalam platform sosial media yang sama, platform lain, bahkan portal berita.

Dalam peristiwa seperti ini netizen seringkali menjadi sosok jahat yang siap memburu siapapun dengan label "netizen maha benar". Namun, benarkah faktanya seperti itu?

Jawabannya adalah diperlukan pengetahuan untuk membedakan antara "bullying" dan "konsekuensi" dalam menggunakan sosial media.

Bullying (perundungan) sendiri mengacu pada perbuatan yang didasari dari tiga unsur, yaitu: bersifat menyerang/mencelakai, dilakukan berulang, dan penyalahgunaan kekuatan yang tidak seimbang.

Cyber bullying memiliki pengertian yang sama hanya saja dilakukan dalam platform sosial media, game, atau ponsel. Sedangkan konsekuensi adalah akibat dari perbuatan. Dalam ilmu psikologi, konsekuensi adalah sesuatu yang timbul sebagai reaksi atas perilaku yang muncul sebelumnya.

Membedakan keduanya adalah hal yang mudah dilakukan namun memerlukan pengetahuan sebagai bekal. Ketika seseorang tidak melanggar norma atau aturan yang ada, tidak juga merugikan atau melukai orang lain namun mendapatkan celaan, hujatan, ancaman, bahkan komentar kasar dari orang lain di akun sosial medianya, maka dapat dikatakan jika orang tersebut mengalami "bullying".

Sebaliknya, ketika orang tersebut melakukan pelanggaran norma atau aturan yang ada, bisa juga melakukan perbuatan yang merugikan orang lain maka dapat dikatakan orang tersebut menerima "konsekuensi" dari perbuatannya.

Tentunya semua masih ingat dengan kasus "Justice for Audrey" di mana sekelompok siswi sekolah menengah merundung salah satu temannya hingga mengalami luka fisik dan mental.

Terlepas dari akhir cerita Audrey yang ditelisik merupakan cerita palsu, namun masih teringat jelas bagaimana netizen "mengamuk" dan membanjiri sosial media para pelaku dengan komentar marah, kasar, menasihati, bahkan dengan umpatan.

Reaksi netizen semacam ini dapat dijelaskan sebagai "konsekuensi" bukan "bullying". Para pelaku menuai rasa marah dari netizen sebagai konsekuensi karena perilakunya yang melukai orang lain, meskipun kata-kata seperti umpatan tentunya semua orang tahu itu tidak baik untuk digunakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline