Korupsi bukan sekadar soal mencuri uang negara. Lebih dari itu, ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, penyalahgunaan kekuasaan yang merusak keadilan, dan luka terbuka yang entah kenapa terus dibiarkan.
Tiap kali kita membaca berita soal pejabat korup, jumlah angkanya sering bikin geleng-geleng. Tapi setelah itu? Biasa saja. Reaksi kita cenderung datar. Seolah semua itu hanya bagian dari rutinitas. Padahal dampaknya nyata: harapan publik yang terkikis, pembangunan yang mandek, dan ketimpangan yang makin menjadi-jadi.
Korupsi di Indonesia sudah seperti penyakit menahun. Bukan cuma di level atas, tapi juga menjalar ke bawah---di tempat yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ada proyek jalan desa yang mangkrak karena dananya dikorupsi. Ada bantuan sosial yang tidak sampai ke penerima karena "dipotong" di tengah jalan. Ada pungutan liar yang dianggap "sudah biasa".
Ironisnya, banyak dari praktik itu justru dianggap lumrah. "Namanya juga sistem kita kayak gitu." Atau, "semua juga korup kok, udahlah." Kalimat-kalimat semacam ini terdengar akrab, dan itu tanda bahaya. Karena saat korupsi dianggap normal, maka kita sedang dalam posisi kalah sebelum bertarung.
Situasi ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, kita ingin Indonesia maju, adil, dan sejahtera. Tapi di sisi lain, kita kerap membiarkan praktik curang tetap berjalan. Diam itu tidak netral---diam artinya membiarkan.
Korupsi memang sering dibahas dalam konteks kerugian negara, dan itu benar. Tapi ada dimensi lain yang lebih menyakitkan: dampak sosialnya. Anak-anak belajar di sekolah rusak, pasien tidak mendapat obat karena anggaran diselewengkan, warga harus lewat jalan berlumpur karena proyek dihentikan. Semua ini bukan hanya soal uang yang hilang, tapi juga hak yang dirampas.
Pemberantasan korupsi bukan cuma soal hukum dan penjara. Itu penting, tentu. Tapi yang lebih fundamental adalah membangun budaya antikorupsi: menjadikan integritas sebagai nilai hidup, bukan sekadar jargon. Dan seperti banyak hal lain dalam hidup, ini harus dimulai dari hal kecil---dari rumah, dari sekolah, dari percakapan sehari-hari.
Pendidikan antikorupsi tidak bisa hanya jadi muatan lokal yang dibaca lalu dilupakan. Ia harus hadir lewat keteladanan: guru yang adil, orang tua yang jujur, pemimpin yang bersih. Anak-anak tidak akan percaya pada nilai kejujuran jika mereka melihat orang dewasa melanggarnya setiap hari.
Lembaga seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian sudah bekerja keras menangani kasus-kasus besar. Tapi tantangan mereka semakin berat: tekanan politik, pelemahan institusi, dan rasa tidak percaya dari masyarakat. Di sinilah peran warga menjadi krusial. Masyarakat bukan hanya penonton. Kita bisa jadi pengawas, pelapor, bahkan penolak praktik curang sekecil apa pun.
Langkah-langkah kecil tetap penting. Tidak menyuap. Tidak membenarkan kecurangan. Berani bertanya ke mana arah anggaran desa. Membangun transparansi, bahkan di organisasi kecil tempat kita berkegiatan. Semua itu bagian dari perjuangan melawan korupsi, walau skalanya tidak selalu besar.