Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Gugatan Cara Berpikir: Mengapa Masih Ada Ujian Kalau Semua Anak Harus Naik dan Lulus?

Diperbarui: 18 September 2025   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(olahan GemAIBot, dokpri)

Gugatan Cara Berpikir: Mengapa Masih Ada Ujian Kalau Semua Anak Harus Naik Dan Lulus?

Seorang siswa yang setiap pagi bangun sebelum matahari terbit, berjalan kaki puluhan kilometer demi sampai ke sekolah tepat waktu. Ia mencatat setiap kata guru, menyelesaikan semua tugas, bahkan rela begadang demi memahami materi yang sulit. Ia berjuang bukan hanya untuk nilai, tapi untuk kebanggaan, untuk masa depan, untuk membuktikan bahwa usaha tak pernah mengkhianati hasil.

Di sisi lain, ada siswa yang jarang masuk kelas, tugas dikumpulkan asal-asalan, atau bahkan tak pernah dikumpulkan sama sekali, nilai ujian di bawah KKM, dan mungkin lebih sering absen daripada hadir. Tapi di akhir tahun, keduanya naik kelas bersama. Lulus bersama. Diberi ijazah yang sama.

Lalu kita bertanya: di manakah keadilan?

[Hari-hari ini saya harus menyiapkan soal sumatif dan Penilaian Tengah Semester/PTS. Ada 8 jenis soal yang harus saya siapkan. 2 untuk SMP dan 6 untuk SMK dan SMA. Di antara delapan kelas ini ada siswa yang tekun dan setia mengikuti semua proses pembelajaran. Namun ada yang sama sekali belum pernah jumpa selama hampir dua bulan berjalan. Namun saat ujian, siswa-siswa seperti tetap mengikutinya. Tentu hasilnya bisa ditebak.]

Ini bukan soal iri atau dengki. Ini soal logika, etika, dan keadilan pendidikan. Jika sistemnya memaksa semua anak naik kelas dan lulus tanpa syarat ketat, lalu untuk apa ujian? Untuk apa PTS, PAS, ujian sumatif, atau bahkan Ujian Sekolah? Apakah sekadar ritual birokrasi? Formalitas yang dipertahankan agar sekolah tetap terlihat "serius"? Ataukah justru alat untuk menutupi kegagalan sistem dalam menangani ketimpangan belajar?

Kita diajarkan sejak kecil: usaha keras akan membuahkan hasil. Tapi kini, sistem pendidikan seolah berkata: "Tak masalah kau malas, tak masalah kau bolos, tak masalah kau tak belajar, kau tetap akan naik. Kau tetap akan lulus." Lalu apa pesan yang diterima generasi muda? Bahwa usaha tak lagi relevan? Bahwa tanggung jawab bisa diabaikan? Bahwa kehadiran, disiplin, dan ketekunan hanyalah pilihan, bukan keharusan?

Dan di tengah semua ini, guru menjadi sandera. Guru mapel yang ingin objektif dinilai "kejam". Guru wali kelas yang ingin tegas dituduh "tidak manusiawi". Orang tua murid yang anaknya rajin protes: "Kenapa anak saya yang berjuang mati-matian nilainya sama dengan yang jarang masuk?" Tapi begitu guru memberi konsekuensi, orang tua lain protes: "Anak saya stres! Anak saya trauma! Anak saya harus naik, titik!" Tekanan sosial, tekanan psikologis, tekanan administratif, semua ditimpakan pada guru. Seolah guru-lah yang salah karena berani menilai secara adil.

Tapi tunggu.

Mungkin masalahnya bukan pada prinsip "semua anak naik", tapi pada cara kita memahami "kenaikan" itu sendiri. Kurikulum Merdeka tidak mengatakan "semua anak naik tanpa syarat". Ia mengatakan: semua anak berhak mendapat kesempatan untuk maju, tanpa dihukum dengan tinggal kelas yang justru sering memperdalam ketertinggalan. Ini bukan pembenaran untuk kemalasan, tapi pengakuan bahwa sistem pendidikan harus berubah dari menghukum menjadi memperbaiki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline