Siskamling Bukan Sekadar Ronda Malam: Menguatkan Kembali Filsafat Gotong Royong Dan Jiwa Komunitas Dalam Budaya Indonesia
Di tengah gemerlap lampu kota, deru motor ojek online, dan notifikasi WhatsApp yang tak pernah berhenti, kita sering lupa bahwa keamanan bukan hanya urusan satpam, polisi, atau kamera CCTV. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih manusiawi, lebih filosofis, yang dulu hidup di balik temaram lampu minyak di pos ronda: Siskamling.
Ya, Sistem Keamanan Lingkungan. Bukan sekadar jadwal jaga malam bergilir. Bukan cuma daftar nama yang dicoret-coret di papan kayu lapuk. Tapi manifestasi nyata dari falsafah hidup bersama: gotong royong, saling menjaga, saling percaya, dan saling mengingatkan.
Filosofi Siskamling: Ketika "Aku" Menjadi "Kita"
Dalam budaya Jawa, ada ungkapan: "Desa mawa cara, negara mawa tata." Setiap desa punya caranya sendiri menjaga harmoni. Dan ronda malam adalah salah satu wujudnya. Di sana, seorang petani, guru, tukang ojek, dan pensiunan PNS duduk bersama di bawah tenda bambu, menyeruput kopi panas sambil mengawasi gang-gang gelap. Tak ada pangkat, tak ada jabatan. Hanya manusia-manusia biasa yang sadar: keamanan adalah tanggung jawab kolektif, bukan individual.
Inilah esensi filosofis Siskamling: mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai makhluk sosial. Dalam konsep Aristoteles, "zoon politikon": manusia adalah makhluk yang hidup dalam komunitas. Siskamling memaksa kita keluar dari rumah, dari gawai, dari rutinitas egois, lalu duduk bersama tetangga (yang mungkin jarang disapa di siang hari) untuk saling menjaga di malam hari.
Di sinilah lahir kepercayaan sosial (social trust). Ketika Pak RT bilang, "Besok giliranmu ronda," kita tidak bisa seenaknya mangkir. Karena kita tahu, tetangga di sebelah sudah menunggu, sudah menyiapkan teh, sudah membawa cerita lucu atau kabar terbaru. Mangkir bukan hanya melanggar jadwal, tapi melukai kepercayaan komunitas.
Sosio-Budaya: Ronda Malam adalah Ruang Sosial yang Hampir Punah
Pos ronda bukan sekadar pos jaga. Ia adalah ruang publik terbuka yang paling demokratis. Di sanalah bocah SD belajar arti tanggung jawab, remaja belajar menghargai waktu, dan orang tua saling bertukar pengalaman hidup. Di pos ronda, cerita hantu dari Mbah Dul tidak kalah seru dari film horor Netflix. Gorengan Bu Siti lebih nikmat dari burger mahal. Dan obrolan tentang harga cabai bisa berubah jadi diskusi filsafat hidup.
Di banyak desa, ronda malam bahkan menyatu dengan ritual budaya. Di Bali, ada sistem pecalang yang menjaga keamanan sekaligus keharmonisan adat. Di Minang, rantau dan kampung saling menjaga lewat sistem keamanan adat. Di Jawa Tengah, musik thoklik atau kenthongan bukan hanya alat komunikasi, tapi simbol kebersamaan yang menggetarkan jiwa.
Sayangnya, ruang-ruang sosial semacam ini kini tergerus oleh modernitas. Anak muda lebih memilih scrolling TikTok daripada duduk di pos ronda. Orang tua lebih nyaman pasang CCTV daripada ngobrol dengan tetangga. Padahal, teknologi bisa gagal: listrik mati, internet down, kamera bisa dibobol. Tapi kehadiran manusia, tatapan mata, senyum tulus, dan jabat tangan hangat, itu tak bisa digantikan oleh algoritma.
Mengapa Kita Perlu Menghidupkan Kembali Siskamling?
Bukan karena ingin kembali ke zaman batu. Tapi karena kita kehilangan sesuatu yang sangat mendasar: rasa memiliki, rasa peduli, dan rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.