Nepotisme sering kali mendapat stigma negatif dalam diskursus sosial-politik modern. Istilah ini identik dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan, di mana seseorang mengangkat kerabat atau keluarga dekat ke posisi penting tanpa mempertimbangkan kompetensi. Di banyak negara, termasuk Indonesia, nepotisme dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi moral dalam birokrasi dan pemerintahan.
Namun, apakah setiap bentuk pengangkatan keluarga dalam posisi kekuasaan dapat disebut nepotisme yang tercela? Apakah Al-Qur'an dan tradisi kenabian menolak sepenuhnya praktik ini? Artikel ini akan mengeksplorasi kembali makna nepotisme dalam konteks tafsir kontemporer, dengan menyoroti kisah Nabi Musa yang mengangkat saudaranya, Harun, sebagai pendamping dan pembantu dalam misi kerasulannya. Dengan pendekatan tafsir tematik, kita akan melihat bahwa mengangkat keluarga sendiri bisa jadi tidak selalu salah, jika memenuhi syarat-syarat tertentu seperti amanah, kapasitas, dan keadilan.
- Nepotisme dan Sistem Pewarisan Kekuasaan -
Nepotisme berasal dari kata "nepos" dan "otis", yang masing-masing berarti cucu laki-laki, keturunan, atau saudara sepupu. Kata-kata ini kemudian berkembang menjadi beberapa arti, termasuk: Pertama, perilaku yang menunjukkan kecintaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; Kedua, kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri, terutama dalam hal jabatan atau pangkat di pemerintahan; dan ketiga, memilih sanak saudara sendiri untuk memegang jabatan pemerintahan (urusan publik).
Jika kita melihat sejarah, praktik semacam ini sangat lazim dalam banyak sistem pemerintahan, termasuk monarki dan kekhalifahan. Pewarisan kekuasaan berdasarkan garis keluarga tidak otomatis dipandang sebagai bentuk penyimpangan. Dalam sistem monarki, misalnya, penunjukan ahli waris dipandang sah dan bahkan dianggap perlu demi menjaga stabilitas kekuasaan.
Mengapa tidak dianggap sebagai nepotisme? Karena dalam monarki, pewarisan kekuasaan dalam keluarga adalah bagian dari sistem resminya. Sebaliknya, nepotisme terjadi ketika kekuasaan diberikan kepada keluarga melalui cara yang tidak adil, dalam sistem yang seharusnya memilih berdasarkan kemampuan, bukan hubungan darah.
Di sinilah letak perbedaannya: apakah keluarga yang diangkat itu memiliki kapasitas, amanah, serta sesuai dengan mekanisme dan prinsip yang berlaku dalam sistem tersebut? Bila ya, maka pengangkatan tersebut bukanlah nepotisme yang tercela, melainkan bentuk pemilihan yang tepat dan sah secara moral maupun struktural.
- Studi Kasus: Nabi Musa dan Harun dalam Al-Qur'an -
Salah satu contoh menarik dalam Al-Qur'an yang sering luput dari perhatian adalah kisah Nabi Musa 'alaihissalam yang meminta kepada Allah agar saudaranya, Harun, dijadikan pendamping dalam misi kenabiannya. Dalam Q.S. Thaha: 29-32, Musa berdoa:
"Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam segala urusanku."
Permintaan ini bukanlah karena semata-mata hubungan darah. Musa menyebut bahwa Harun adalah lebih fasih dalam berbicara, sebuah kemampuan yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi Firaun. Ini menunjukkan bahwa Harun dipilih bukan karena nepotisme, melainkan karena kapabilitas dan kontribusi nyata yang dapat diberikan.