Lihat ke Halaman Asli

Alfian Wahyu Nugroho

Penulis Artikel

Belajar Sinis melalui Mazhab Frankfurt

Diperbarui: 20 Mei 2025   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt (Sumber: https://www-thecollector-com.translate.goog/6-critical-theorists-frankfurt-school/)

Bagi teman-teman yang mendalami ilmu sosiologi, pasti akan berkenalan dengan Mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt merupakan aliran dari tokoh-tokoh yang berparadigma kritis, muncul dari Institut für Sozialforschung di Jerman pada awal abad ke-20, konsep dan pemikiran yang mereka cetuskan menggabungkan Marxisme, psikoanalisis, dan teori sosial digunakan untuk mengkritik dominasi ideologis dalam masyarakat modern. Para tokoh aliran Frankfurt dikenal sebagai pelopor teori kritis yang menyoroti berbagai fenomena kekuasaan bekerja secara halus melalui budaya, pendidikan, dan media. Itu secara ringkasnya, saya ingin mengupas tuntas mazhab ini dengan semua sumber-sumber dan referensi yang sudah saya baca. Ada beberapa bagian yang ingin saya kupas, selamat membaca.

Asal Usul Historis Sebuah Kritik

Mazhab Frankfurt lahir dari sejarah yang membekas dalam-dalam pada tubuh modernitas. Situasi global pasca-Perang Dunia I dan II berada dalam pusaran krisis, kekacauan yang ditinggalkan oleh kehancuran perang, keruntuhan imperium, naiknya fasisme, serta krisis identitas modernitas menjadi latar kegelisahan para intelektual pada masa itu. Kapitalisme tampak tidak mampu menyelesaikan ketimpangan sosial, dan marxisme ortodoks dianggap gagal merespons secara holistik kondisi masyarakat modern yang kompleks. Di Eropa, manusia mulai meragukan janji-janji pencerahan bahwa rasio akan membebaskan, bahwa kemajuan teknologi berarti kemajuan moral. Dalam situasi ini, sekelompok intelektual membentuk Institut für Sozialforschung di Frankfurt pada 1923, yang kelak menjadi rumah bagi berbagai pemikiran kritis transdisipliner. Dalam lanskap inilah, para intelektual Frankfurt membangun proyek intelektual yang tidak sekadar menjelaskan, tapi mengkritik dan membebaskan.

Penting untuk ditegaskan bahwa istilah “Mazhab Frankfurt” bukanlah sebutan formal yang merujuk pada aliran doktrinal yang mapan layaknya agama, melainkan suatu sebutan untuk mengidentifikasi pendekatan kritis yang dikerjakan oleh sekelompok intelektual dengan latar belakang sosiologi, filsafat, ekonomi politik, dan psikoanalisis. Mereka tidak menulis satu doktrin yang koheren, tetapi bekerja secara reflektif dan kolaboratif dalam membangun kerangka teori sosial yang mampu mengungkap struktur dominasi laten dalam kehidupan modern, khususnya yang berlangsung melalui kebudayaan dan institusi-institusi sosial. Tujuan utama dari Mazhab Frankfurt sejak awal bukanlah sekadar memahami dunia, tetapi membebaskan manusia dari bentuk-bentuk penindasan yang tidak kasat mata baik itu represi psikologis, alienasi dalam kerja, atau hegemoni budaya. Mazhab Frankfurt memang sering dikaitkan dengan Neo-Marxisme, karena mengembangkan dan mengkritisi Marxisme klasik. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua Neo-Marxisme adalah bagian dari Mazhab Frankfurt. Mazhab ini lebih selektif dalam mengadopsi Marx, mereka menolak determinisme ekonomis dan reduksionisme kelas yang dominan dalam Marxisme ortodoks. Teori kritis Frankfurt menolak pandangan mekanistik dalam Marxisme dan justru memperluasnya ke ranah kultural dan psikososial.

Institut für Sozialforschung (Sumber: https://www.ifs.uni-frankfurt.de/history.html)

Dalam pengertian ini, Mazhab Frankfurt adalah bentuk perlawanan intelektual terhadap reduksionisme dan positivisme ilmiah. Mereka menganggap bahwa ilmu sosial tidak bisa disamakan dengan ilmu alam yang netral dan bebas nilai. Sebaliknya, teori sosial harus reflektif dan historis, karena realitas sosial dibentuk oleh relasi kuasa yang terus berubah. Kritik Mazhab Frankfurt tertuju pada dominasi struktural yang menyusup ke dalam sistem pendidikan, media massa, bahkan cara berpikir manusia itu sendiri. Namun di sisi lain, pandangan-pandangan Mazhab Frankfurt juga sering dianggap sebagai bentuk pemikiran yang terlalu pesimistis, bahkan kadang-kadang kontradiktif. Kritik dari kalangan Marxis revolusioner, seperti yang tercantum dalam artikel Revolusioner.org (2021), menyebut Mazhab Frankfurt sebagai “kemunafikan terorganisir” karena terjebak dalam akademisme dan menjauh dari perjuangan kelas yang konkret. Di sinilah letak paradoks Mazhab Frankfurt ia mencoba membongkar kekuasaan, tetapi kadang larut dalam kompleksitas analisis yang nihilistik.

Dengan demikian, pendahuluan yang saya tulis  ini tidak hanya menggambarkan latar berdirinya Mazhab Frankfurt secara historis, tetapi juga menunjukkan kompleksitas posisi teoretisnya di antara Marxisme, teori sosial kritis, dan humanisme. Mazhab ini menolak jadi dogma, tetapi juga enggan tunduk pada determinisme struktural. Dalam dunia akademik dan budaya, warisan mereka masih hidup sering diperdebatkan, dikritik, namun tetap menjadi fondasi penting bagi teori sosial kritis hingga hari ini.

Ideologi, Tokoh dan Sumbangsih Mazhab Frankfurt

Inti pemikiran Mazhab Frankfurt terdapat satu gagasan sentral yang konsisten, saya menyimpulkan sebagai humanisme melalui kritik ideologi. Mereka menolak untuk tunduk pada positivisme yang mengklaim sebagai satu-satunya bentuk kebenaran ilmiah yang netral dan objektif. Bagi Mazhab Frankfurt, positivisme justru menjadi instrumen kekuasaan ia menyingkirkan nilai-nilai, mengabaikan konflik sosial, dan menjadikan realitas sebagai objek yang beku. Dalam Traditional and Critical Theory (Horkheimer, 1937), dibedakan antara teori tradisional (positivistik, teknokratik, dan adaptif) dan teori kritis (emansipatoris, reflektif, dan historis). Ideologi, dalam hal ini, bukan hanya sistem gagasan politik, tapi keseluruhan struktur makna yang membuat ketidakadilan menjadi tampak normal dan tak terbantahkan.

Mazhab Frankfurt berkembang dalam beberapa generasi pemikir. Generasi pertama terdiri dari tokoh-tokoh paling terkenal seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno. Mereka membentuk fondasi teori kritis dengan cara menggabungkan Marxisme non-dogmatis, psikoanalisis Freudian, dan filsafat Hegelian. Adorno dan Horkheimer memperlihatkan bagaimana pencerahan modern yang mestinya membebaskan justru melahirkan bentuk baru dari dominasi dan rasionalitas teknis menggantikan nalar kritis, dan masyarakat masuk dalam fase total administration. Tokoh tokoh generasi kedua dipimpin oleh Jürgen Habermas, yang menggeser fokus teori kritis ke arah komunikasi, bahasa, dan ruang publik. Habermas mengembangkan pemikiran bahwa emansipasi tidak hanya bisa dicapai melalui revolusi ekonomi, tetapi juga melalui rekonstruksi rasionalitas komunikatif yang memungkinkan konsensus tanpa dominasi. Dalam banyak hal, Habermas bersifat lebih normatif dan demokratis dibandingkan pendahulunya. Tokoh tokoh generasi ketiga, lebih sering mengangkat topik dari kebutuhan manusia akan pengakuan intersubjektif sebagai dasar etis masyarakat adil. Honneth menekankan bahwa ketidakadilan sosial tidak hanya soal eksploitasi ekonomi, tapi juga soal penghinaan simbolik dan kegagalan dalam relasi sosial yang mengakui martabat individu. Beragam teori penting muncul dari Mazhab ini, yang paling sering dimunculkan adalah Teori Kritis itu sendiri, hingga gagasan seperti Industri Budaya (Culture Industry), teori ini mengkritik bagaimana media massa dan produk budaya menjadi instrumen kontrol sosial yang menyamar sebagai hiburan. Teori ini banyak mengkritik masyarakat industri lanjut yang menciptakan manusia satu dimensi mereka yang tidak lagi mampu berpikir kritis karena sudah ditelan logika konsumsi dan kenyamanan sistemik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline