Lihat ke Halaman Asli

andy_the_learner

Pengajar Bahasa Inggris

Utang Budi

Diperbarui: 16 Maret 2024   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By Five

Kubuka dompetku. Tersisa selembar uang lima puluh ribu dan dua puluh ribu. Sudah kuupayakan menambah penghasilan dan mengurangi pengeluaran. Nyatanya, besar pasak daripada tiang. Kebutuhan keluargaku jauh melampaui rejeki yang bisa kudapat untuk anak dan istriku.

Sekilas  aku perhatikan kalender yang terpasang didinding ruang tamuku. Masih seminggu lagi honor guruku keluar. Ku tarik nafas dalam-dalam. Sesak. Jari-jari tanganku menarik dua lembar uang terakhir itu keluar.

"Tinggal tujuh puluh ya Abi? Aku belum ambil uang itu. Mungkin Abi perlu pake uang itu..."  Kata istriku, Sri, dikamar sebelah. Kudengar suara air dari perasan handuk untuk kesekian kalinya. Akupun beranjak ke kamar itu.

"Kalau ngomong perlu...ya tentu Abi perlu. Bensin sepeda motorku mau habis, Ummi." Kupegang kening Maryam, anak semata wayangku. Masih terasa panas tubuhnya. Bibirnya kering. Matanya juga sayu.

"Disisihkan saja dua puluh ribu, Abi...habis ini kita bawa Maryam ke pak Mantri di kampung sebelah. Kalo disuntik dan dikasih obat, paling cuman tiga puluh ribu." Ia meletakkan handuk basah itu dikening Maryam.

 "Beras juga habis, Abi...nanti aku bisa minta sekilo dua kilo di toko Mak Pah," jelas istriku datar. Aku merasakan ada isak yang tercekat dari kata-katanya. Aku tahu dia coba menenangkan diriku atas keadaan ini. Aku tahu ia juga menguatkan dirinya.

Memang setiap bulan aku hanya bisa mengantongi honor 500 ribu dari pekerjaanku. Dihemat dengan cara apapun, uang segitu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan kami. Sebagai kepala keluarga, tentu aku tidak tinggal diam. Sepulang sekolah, aku dan sepeda motor tuaku tidak jarang mangkal diperempatan jalan. 

Mengangkut satu atau dua orang penumpang sudah jadi berkah tersendiri bagiku karena aku bisa mengisi bensin sepeda motorku. Jika masih ada waktu, aku berkelliling mengumpulkan botol plastik atau rongsokan apapun yang bisa dijual. Semuanya kulakukan hanya untuk mempertahankan kehidupan kami.

"Sudah berapa hutang kita di Mak Pah, Ummi?" kuserahkan uang lima puluh ribu ke istriku.

"Kurang lebih dua jutaan, Abi" jawabnya sambil memasukkan uang itu kedompetnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline