Lihat ke Halaman Asli

Aji Muhammad Iqbal

Penulis Amatir

Wajah PBNU Kini Kian Romantis, Bukan?

Diperbarui: 17 Januari 2022   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Oleh: Aji Muhammad Iqbal

Wacana kesetaraan gender jika disuguhkan pada NU, tak ubahnya bagaikan makan di Restoran Hotel terkemuka. 

Menu makan mewah yang berjajar membuat perut keroncongan semakin menjadi-jadi.
Apalagi makanan yang asing di lidah dan penglihatan, rasa penasaran menjadi mutlak adanya. 

Pokoknya yang berbau asing, selalu saja hasrat mencicipi semakin meronta-meronta.
Beda halnya dengan orang katrok berwajah agraris, sepertinya bisa muntah-muntah dikasih makanan yang jarang ditemukan di pelosok desa.

Ya begitulah NU menyoal kesetaraan gender. Ibarat kata, makanan asing yang telah disantap habis tak tersisa. Kalau 'toh' masih ada yang tersisa, paling-paling hanya sisa-sisa sambal di pinggiran piring.

Dalam perjalanannya yang malang melintang di tanah air, tentunya NU telah banyak makan asam garam. Bagaimana NU cekatan saat dihadapkan isu kesetaraan gender masuk ke Indonesia kisaran tahun 1990-an.

NU sebagai organisasi yang tak lepas dari 'tasywirul afkar', membuka ruang untuk wacana keseteraan gender itu dibahas pada Munas NU di NTB tahun 1997. Maka, jadilah suguhan menarik seputar 'Islam dan Kesetaraan Gender'.

Kebayang gak, bagaimana suasana forum Munas NU di NTB waktu itu membahas isu kesetaraan gender? 

Sesuatu hal asing ditelinga para kiai yang sehari-harinya sarungan dan melantunkan nazaman kitab-kitab klasik di Pesantren.

Pasti yang terbayang begitu alot pertentangan antara kiai-kiai yang menafsirkan kitab klasik secara 'taken for granted', dengan mereka yang menafsirkannya secara kontekstual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline