Lihat ke Halaman Asli

Dari 'Cha' untuk 'Nji'

Diperbarui: 7 November 2016   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By: Ai Cha AF

Sekarang saatnya membentangkan sayap dan terbang setinggi tingginya. Hari yang dinantikan sudah tiba. Ya hari ini aku akan kembali turun lapangan setelah hampir setahun vakum tidak berkompetisi karena persiapan mengikuti Ujian Nasional di sekolah. Aku hidup di tahun 2036, bukan tahun 2016 yang mana kebijakan pemerintah khususnya bidang olahraga telah direvisi. Bagi atlet cabang olahraga apapun untuk usia dibawah 20 tahun dan masa menempuh pendidikan tidak diperkenankan mengikuti kompetisi olahraga menjelang persiapan Ujian Nasional. Dan pasti berbeda dengan zaman orangtuaku dahulu. Pada zaman mereka bahkan h-8 tanggal pernikahan ibu dan ayah mereka masih berkompetisi mengikuti kejuaraan Nasional mewakili provinsi. Oragtuaku tak segan melanggar tradisi “wong Jowo” mereka tidak menjalani prosesi pingitan sebelum menikah. Aku dilahirkan dan besar dilingkungan kelurga atlet lari. Ayah dan ibu seorang pelari professional yang disegani di masanya.

Tak lama lagi pertandingan akan dimulai peserta yang akan berkompetisi dipersilakan memasuki Stadion dan mempersiapkan posisi. Teman teman sesama atlet dari Club juga hadir memberiku support beserta coachHeru kordintor Club kami. Sebelum berkompetisi aku tidak banyak bicara dan mengontrol perasaan gugup dengan diam sambil membaca buku. Kulihat dia melangkah mendekat. Langkah Pandu semakin dekat membawa senyum yang menghantar energi positif untukku. Kami bergabung di Club yang sama, tetapi kali ini dia tidak ikut berkompetisi. Pandu juga atlet lari, entahlah apa mungkin sejarah orangtuaku akan kembali terulang padaku?

      “Sudah siap Cha?”

Aku mengangguk…

      “Lakukan yang terbaik, aku akan menunggu di garis finish…”

      Kami sangat kompak dan saling mendukung dalam urusan kompetisi. Ketika Pandu yang berkompetisi aku akan menunggunya di garis finish seperti yang dia janjkan padaku kali ini. Kemudian aku melanjutkan langkah memasuki Stadion ku amati arena lari yang panjang. Untuk pertama kalinya aku akan berlari sejauh 5000m, biasanya hanya berjarak sejauh 3000m.

      “Panchaaa.., semangaatt !!” suara ibu terdengar paling melengking dari Tribune mengalahkan teriakan riuh penonton yang lainnya. Ayah juga hadir diantara ribuan penonton yang memenuhi Tribune. Setiap ada pertandingan olahraga seperti ini warga kota Malang selalu antusias memberi dukungan seperti ketika pertandingan Arema yang selalu penuh dan riuh tak ada matinya.

      Aku mengambil posisi dan menyiapkan diri berdoa seperti yang diajarkan orangtuaku. Menatap ke depan mengumpulkan semagat menunggu petugas memberikan aba aba. Pada tiupan peluit panjang dari petuagas aku memulai langkah berlari. Untuk 5000m dan Pandu yang menunggu di garis finish, aku akan menjadi orang pertama yang menyentuh garis finish. Teriakan riuh dari penonton yang mendukung atlet jagoannya adalah pemompa semangat untuk menjadi yang terdepan menyentuh garis finish. Tak terasa aku berlari sudah mencapai separuh dari jarak yang dituju dan…, aku berada di posisi paling depan. Namun…

      Pada jarak 4000m aku mulai gelisah persendian kakiku terasa nyeri, meskipun semangat dan tenagaku masih penuh. Aku berusaha tetap berkonsentrasi. Situasi yang tak terencana seperti ini sering sekali terjadi dalam pertandingan. Seorang atlet yang profesional harus terlatih memiliki kontrol emosi yang tetap stabil dalam menghadapinya. Semakin jauh berlari rasa nyeri di telapak kaki semakin terasa. Aku mengendalikan diri berusaha tetap bertahan atas sebuah pilihan, sampai di garis finish sebagai pemenang atau kembali. Dan aku sudah memulai kompetisi ini jadi dirikulah yang harus menyelesaikan. Langkahku mulai tak seimbang, kontrol psikologisku juga mulai lengah. Akhirnya pada langkah berikutnya aku kehilangan kontrol salah menapakkan kaki kemudian terpelanting dan tersungkur jauh ke depan.

      Seketika kehidupan di dunia seperti berhenti. Hening. Teriakan dari penonton tak terdengar lagi. Langit perlahan terlihat kabur dan abu abu. Sebelum semua pandanganku terlihat gelap, teriakan melengking ibu mengawali teriakan gemuruh penonton yang lainnya. “Paanchaaaaa...” Disusul kemudian teriakan ayahku dan teriakan histeris ribuan penonton yang lain dari       Tribune.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline