Bank digital lagi jadi sorotan. Bukan tanpa alasan. Cara orang berhubungan dengan layanan finansial sudah berubah total.
Dulu, urusan bank identik dengan datang ke cabang dan antre lama. Sekarang, hampir semua kebutuhan beres dari layar ponsel.
Pandemi ikut menginjak pedal gas perubahan itu. Era baru ini menuntut layanan yang serba cepat dan efisien.
Perilaku konsumen pun bergeser dan, tampaknya, perubahan ini menetap. Mau tidak mau, semua pelaku industri harus menyesuaikan diri.
Ancaman bagi bank konvensional nyata adanya, bukan sekadar omongan. Data pun mendukung.
Satu laporan memperlihatkan sinyal yang jelas: banyak nasabah di Indonesia mempertimbangkan untuk pindah ke bank digital dan siap memindahkan 25 sampai 50 persen dari total saldo mereka (McKinsey, 2019).
Kalau itu terjadi, potensi arus keluar dana bisa sangat besar. Narasi bahwa bank konvensional aman-aman saja tidak tepat.
Menganggap mereka baik-baik saja justru berbahaya, karena loyalitas nasabah sedang benar-benar diuji.
Logika perbankan lama ikut terguncang. Bank besar memang punya amunisi untuk bertransformasi, tetapi jalannya tetap berliku.
Di sisi lain, bank kecil menghadapi tantangan yang lebih berat, dan proses adaptasinya jauh lebih rumit.
Ini bukan cuma soal merombak peran kantor cabang. Masalah utamanya justru teknis: biaya mengubah sistem warisan sangat tinggi, sementara risiko keamanan siber terus naik seiring layanan makin digital (BRI Developers).