Gunung Gede berdiri megah di Jawa Barat. Keindahannya telah lama memukau banyak orang. Ia menjadi tujuan pendakian juga penelitian.
Namun, ada kekuatan alam yang besar. Kekuatan itu tersimpan di balik pesonanya. Gunung ini adalah stratovolcano yang aktif. Ia terus hidup juga terus bergerak. Gerakannya mengikuti siklus geologi.
Getaran kecil kadang muncul sebagai pengingat. Statusnya memang tidak pernah benar-benar terlelap. Statusnya selalu dipantau dengan sangat ketat. Ini menunjukkan peran penting gunung tersebut. Perannya penting bagi vulkanologi Indonesia.
Baru-baru ini publik kembali diingatkan. Mereka diingatkan akan potensi gunung itu. Terjadi peningkatan aktivitas gempa vulkanik. Instrumen mencatatnya secara signifikan (Badan Geologi, 2025).
Peristiwa ini memicu banyak diskusi. Hal itu juga meningkatkan kewaspadaan. Banyak pihak kembali membuka catatan lama. Catatan itu tentang potensi bahaya Gede.
Studi ilmiah bahkan menempatkannya lebih tinggi. Ia punya risiko paparan populasi tinggi. Jutaan jiwa berada dalam radius risiko. Ini termasuk kota Jakarta dan Bandung.
Angka sebesar ini tentu menimbulkan kecemasan. Namun, konteks 'terpapar' harus dipahami. Risiko ini adalah sebuah potensi bahaya. Potensi bahaya itu terukur secara saintifik. Ini bukan sebuah kepastian bencana terjadi.
Gunung Gede terbukti aktif dan meletus. Jejak rekamnya menunjukkan hal tersebut.
Catatan letusannya ada sejak abad ke-18. Ada sebuah fakta penting yang muncul. Sebagian besar letusannya berskala kecil sedang. Indeksnya berada di level dua atau tiga.
Namun, letusan tahun 1840 berbeda. Letusan itu menghasilkan aliran piroklastik. Ini bukti kapasitas destruktifnya (Wikipedia).
Pihak berwenang selalu mengambil langkah sigap. Hal itu terjadi saat sensor waspada. Penutupan sementara jalur pendakian adalah contohnya (Kompas.com, 2025).