Lihat ke Halaman Asli

Ahsanul Raihan

𝒹𝑒 π’Ώπ“Šπ“‡π’Ύπ“ˆπ“‰ π’Άπ“π“ˆ π“‰π‘œπ‘’π“ˆπ’Έπ’½π‘œπ“Šπ“Œπ‘’π“‡

Penyakit Komplikasi Berbagai Sektor Akibat RUU EBT

Diperbarui: 1 Oktober 2021 Β  09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Topik mengenai RUU EBT (Energi Baru dan Terbarukan) mulai sering dibicarakan lagi saat komisi VII DPR RI memacu pembahasannya, yang rencananya akan disahkan pada akhir tahun ini. Karenanya, pembahasan RUU ini kian diperbincangkan para pakar sehingga menimbulkan pro dan kontra, misalnya seperti dalam draft RUU tersebut pemanfaatan energi nuklir dan energi baru yang berbasis fosil masih saja di ikut sertakan.

Pasalnya energi fosil masih saja mendominasi bahan bakar di Indonesia terutama batubara yang menghasilkan jejak karbon dari emisi gas rumah kaca yang besar, sementara energi terbarukan seperti tenaga surya, air, angin, bio energi, dan panas bumi masih melimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal.

Energi Baru dan Terbarukan tersebut merupakan energi yang merujuk kepada energi alternatif sekaligus energi berkelanjutan yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Energi Terbarukan menjadi salah satu sumber energi yang dapat memenuhi kebutuhan energi, menyumbang kepada bauran energi nasional dan membantu usaha mitigasi dampak perubahan iklim global.

Energi memang sangat penting dalam pengembangan nasional, selain itu energi juga memiliki peran sebagai pendorong sektor industrI dan sektor-sektor lain, maka dari itu diperlukannya energi yang berkelanjutan, dan EBT adalah jawaban dalam rangka akselerasi transisi sistem energi menuju sistem energi nasional yang berkelanjutan, namun masalahnya, RUU EBT justru masih dalam bayang bayang energi kotor batu bara, contohnya yang tertuai dalam pasal 9 dalam draft RUU EBT ada tiga turunan batubara ditambah nuklir dan hidrogen yang termasuk klasifikasi energi baru.

Sejatinya RUU EBT tersebut merupakan pelengkap kekosongan pada UU energi terbarukan yang sudah ada sebelumnya, yaitu UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, dengan adanya RUU tersebut merujuk pada pasal 40 ayat 1 menyebabkan PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan tersebut, hal ini juga mungkin berakibat membebankan keuangan PLN, yang otomatis kerugian yang tidak sedikit ini akan ditanggung oleh pemerintah dan akan dibiayai dengan dana APBN.

RUU EBT dinilai akan berdampak pada pencemaran alam karena jejak penggunaan air dan limbah radioaktif nuklir akan sulit dikelola dan akan membawa dampak baru pada lingkungan, ditambah kerusakan akibat jejak karbon dari tiga turunan batubara, selain itu juga terdapat beberapa hal lain yang menjadi induk permasalahan dalam RUU EBT seperti:

1. Indonesia justru akan menerapkan penggunaan energi nuklir di saat banyak negara lain sudah meninggalkan penggunaannya seperti pada negara tetangga yaitu Vietnam, Malaysia, Thailand, semuanya membatalkan pembangunan PLTN. Kemudian di Jepang hanya 2 dari 23 unit PLTN saja yang kembali diaktifkan pasca kebocoran nuklir di Fukushima, serta negara-negara di Eropa seperti Jerman akan menutup semua pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di wilayahnya mulai 2022, dan Perancis mematikan 50% PLTN-nya pada 2030.

2. Dalam Pasal 53 ayat 4 dalam RUU EBT dalam pengelolaan keuangan EBT yg mana terdapat 2 kementerian yang mengelola dana tersebut, pengaturan tersebut berpotensi menimbulkan friksi siapa yang akan bertanggung jawab atas dana tersebut jika timbulnya permasalahan, menurut Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) dana tersebut ditanggungjawab kan kepada kementerian ESDM dan proses pemanfaatannya harus berkoordinasi kepada kementerian keuangan, dengan demikian pasal yang mengtur dana EBT harus dijelaskan secara terperinci.

3. Penggunaan nuklir sebagai energi baru dalam RUU EBT perlu dilakukan pembahasan ulang karena pengaturan tentang nuklir sudah terdapat pada UU No.10 tahun 1997 dan perlu diadakan perubahan atasnya.

4. Jikalau RUU ini disahkan, akan sulit dalam masa transisi energi di indonesia ditambah akan adanya dampak krisis di lingkungan dan keuangan.

5. Pemerintah lebih berfokus kepada energi baru dan tidak pada energi terbarukan. Seharusnya pemerintah lebih berfokus kepada energi terbarukan terlebih dahulu, dengan berfokus membangun kerangka kebijakan yang tepat dan ekstensif untuk energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, angin, bio energi, dan panas bumi yang masih menghadapi berbagai hambatan dan tantangan hingga saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline