Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Rasyid Riadhi

Apoteker | Molekul Bahagia Malaikat

Apoteker Indonesia Seperti Barista Sachet, Praktis Hambar dan Disalahpahami Publik

Diperbarui: 5 September 2025   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Apoteker yang sedang memegang kopi sachet dan pasien yang kebingunan dengan rasa hambar, source:canva)

Datang ke apotek di Indonesia kadang bikin kita merasa masuk warung kopi sachet. Obatnya ada, etiketnya ditempel, lalu apotekernya dengan santai berkata, "Tiga kali sehari, habiskan ya." Praktis, cepat, tanpa drama. Masalahnya, pelayanan ini berhenti di level "nyeduh kopi instan"---fungsional, tapi dingin dan mekanis.

Apoteker di sini sering masih drug-oriented: fokus pada barangnya, bukan manusianya. Yang diperhitungkan adalah jumlah tablet, bukan bagaimana pasien minum, apakah ada efek samping, atau apakah pasien paham kenapa obat itu penting. Padahal dunia sudah bergerak ke arah patient-oriented: obat hanyalah alat, yang utama adalah manusianya.

Bayangkan kalau dokter jadi seperti apoteker drug-oriented: pasien datang batuk, dokter cuma bilang, "Oh, ini resepnya. Next!" Pasti kita protes. Tapi kalau apoteker melakukan hal serupa---sekadar kasih obat tanpa konseling---anehnya banyak yang masih menganggap normal.

Pemain Cadangan Abadi

Masalah ini makin parah dengan fenomena titip nama. Apoteker ada di papan izin, ada di stempel, tapi fisiknya entah di mana. Fenomena ini bikin apoteker mirip pemain cadangan abadi: tercatat di line-up, gaji tetap cair, tapi 90 menit pertandingan tidak pernah turun ke lapangan.

Lucunya, ketika masyarakat menganggap apotek cuma toko obat, banyak apoteker tersinggung. Padahal ya salah siapa kalau "pemain inti" memilih nongkrong di bangku cadangan? Kalau terus begini, jangan salahkan publik kalau citra profesi melorot.

UU 17 Tahun 2023: Tol Baru, Tapi Sepi Peminat

Sebenarnya negara sudah kasih jalan tol lewat UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di situ jelas peran apoteker sebagai tenaga kesehatan, bukan sekadar tukang jual obat. UU ini ibarat jalan tol baru yang mulus, lengkap dengan lampu jalan.

Tapi apa jadinya kalau apoteker enggan lewat? Ya tolnya jadi sepi, malah kembali macet di jalan lama: urusan stok, harga obat, dan titip nama. Padahal kalau tolnya dipakai rame-rame, laju profesi bisa lebih kencang. Sayangnya, sampai sekarang, tol ini lebih banyak jadi bahan seminar ketimbang rute nyata di lapangan.

Dari Ojol ke Co-driver

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline