Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Vidura

Ocean Energy Enthusiast

Potensi Energi Laut Guna Memperkuat Sektor Maritim sebagai Identitas Geopolitik Indonesia

Diperbarui: 13 Oktober 2020   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lautan Indonesia | pexels.com

Harapan baru muncul, saat gagasan poros maritim dunia menjadi semangat baru yang digaungkan oleh pemerintahan Indonesia kala itu, dipimpin oleh Joko Widodo -- Jusuf Kalla. Gagasan tersebut bukan tanpa dasar, sebagai negara pemilik lebih dari 17.000 pulau dan lautan luas yang menyelimutinya, maritim memang menjadi identitas yang kuat untuk nama Indonesia. 

Potensi bahari di Indonesia begitu besar, bukan saja sebagai kawasan bioteknologi tropika yang luas, melainkan juga menyimpan potensi wisata, mineral laut, industri pelayaran, pertahanan, dan industri maritim dunia serta perairan laut dalam yang belum banyak dijelajah.

Indonesia juga diuntungkan oleh letak teritorial yang strategis secara politik maupun ekonomi. Berada di daerah ekuator, menjadikan Indonesia penghubung negara-negara di benua Asia dan Australia. Indonesia juga terletak di antara dua samudera, Pasifik dan Hindia yang menjadikan Indonesia menjadi kawasan penghubung kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Beberapa selat strategis lalu lintas maritim global juga berada di perairan Indonesia yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar (Syahrin, 2018).

Pelabuhan Tanjung Priok | maritimenews.id

Salah satu aspek maritim yang melimpah dan potensial untuk dikembangkan adalah energi laut. Proporsi luas wilayah laut Indonesia adalah sekitar 76.94% dari luas negara (Ramdhan dan Arifin 2013), sehingga dinamika massa air di laut yang sangat luas tersebut menjadi potensial untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi. Setidaknya ada lima tipe energi laut yang dapat dimanfaatkan, di antaranya adalah energi gelombang laut, energi pasang surut, energi arus laut, energi gradien suhu laut, dan energi gradien salinitas (Vignesh et al. 2019). 

Berdasarkan penelitian Lubis (2007), energi laut di seluruh pantai Indonesia berpotensi menghasilkan lebih dari 2 TW jika dikonversi menjadi listrik secara optimal. Selain ketersediaannya yang melimpah di Indonesia, energi laut juga merupakan clean energy, sehingga cocok diterapkan di pesisir dan pulau-pulau kecil yang selama ini memanfaatkan pembangkit listrik tenaga fosil dengan bahan bakar yang mahal akibat tingginya biaya distribusi.

Masyarakat Pesisir Indonesia | pexels.com

Hasil kajian Luhur et al. (2013) menunjukkan bahwa perairan Indonesia menyimpan potensi energi laut yang sangat besar. Kendati demikian, pemanfaatan sumber energi tersebut belum optimal. 

Salah satu yang menjadi indikator atas penilaian tersebut antara lain tahap pengembangannya yang masih dalam riset murni dan uji coba dalam skala laboratorium, sehingga, kegiatan pilot project belum dapat terealisasi karena terkendala oleh aspek teknis (padat teknologi) dan ekonomi (padat modal). 

Di sisi lain, listrik yang dihasilkan dari pemanfaatan energi laut secara potensi menunjukkan hasil yang signifikan, khususnya bagi masyarakat pesisir sebagai masyarakat yang memiliki akses terdekat dengan sumber energi laut. Apabila tersedia, Kebutuhan listrik yang belum terlayani oleh PLN sebagai satu-satunya pihak yang menyuplai listrik bagi masyarakat dapat terpenuhi oleh energi laut tersebut.

Sumber: Ditjen EBTKE (2018) dalam Dewan Energi Nasional (2019)

Berdasarkan hasil analisis finansial dalam penelitian Luhur et al., (2013) juga diketahui bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga laut, dari energi laut yang dinilai memiliki peluang untuk dikembangkan adalah energi arus laut, gelombang laut dan pasang surut. 

Besar tarif listrik per kWh yang dapat dihasilkan oleh ketiganya dinilai mampu bersaing dengan tarif listrik non subsidi yang dijual oleh PLN seharga Rp1.163/kWh, yaitu sebesar Rp1.268/kWh untuk energi arus laut, Rp 1.709/kWh untuk energi gelombang laut dan Rp 2.048/kWh untuk energi pasang surut. 

Sementara, tarif listrik yang dihasilkan energi dari perbedaan suhu air laut (OTEC) masih cukup mahal, yaitu mencapai Rp4.030/kWh sehingga cenderung tidak mampu bersaing dengan tarif listrik konvensional yang kurang lebih empat kali lipat lebih murah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline