Aroma Tanah yang Baru
Pagi itu, kabut menggantung rendah di atas permukaan rawa, seperti tirai tipis yang menyembunyikan sesuatu yang suci. Udara mengandung aroma basah yang tak asing bagi hidung Musamus: tanah merah yang mulai merekah, lumpur yang merangkul akar-akar bakau, dan napas dedaunan yang baru saja membuka diri kepada cahaya pertama.
Musamus berdiri di ujung dahan palem yang tumbuh di tepian barat. Ia memandang jauh ke hamparan tanah yang sebelumnya terluka oleh amarah air dan angin. Kini, tanah itu kembali tenang, seperti dada yang baru selesai menangis dan mulai belajar bernapas lagi.
"Hirup dalam-dalam, Musamus," kata Ibu Ratu Semut, yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. "Itu aroma tanah yang baru."
Musamus menarik napas dalam. Hidung kecilnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena haru. Di dalam aroma itu, ia mencium sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar basah dan segar. Ia mencium harapan.
"Seperti bau pertama rumah baru," gumamnya.
"Bukan hanya rumah baru," sambung Ibu Ratu. "Tapi jiwa yang baru. Ini adalah pertanda, bahwa tanah ini telah memaafkan."
Dari kejauhan, terdengar suara-suara: kakatua yang bercanda di pucuk pohon ketapang, camar angguk hitam yang menukik menyentuh air, dan burung nambur yang menyanyi di antara rumpun bambu. Mereka bukan lagi tamu, melainkan penyair di panggung alam yang telah dibersihkan oleh badai.
Tiba-tiba, dari balik akar-akar kayu bus yang menjulang di tepi rawa, muncullah Panglima Rangga bersama beberapa semut muda. Punggung mereka basah, dan kaki-kaki kecil mereka tertutup lumpur hingga tak tampak garis tubuhnya.
"Kami selesai menggali parit irigasi!" seru Rangga bangga. "Air tidak lagi menggenangi tempat tidur akar pohon palem. Sekarang ia mengalir seperti sungai kecil, memberi hidup, bukan menenggelamkan."