Lihat ke Halaman Asli

Agustina Purwantini

TERVERIFIKASI

Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Mencurinya di Halaman Gereja, Menikmatinya di Pelataran Masjid

Diperbarui: 31 Maret 2024   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenangan ketika saya dan tim JWT di Gereja Bintaran Yogyakarta (Dokpri Agustina)

Ada banyak cerita toleransi yang saya ketahui dan alami. Mulai dari toleransi beragama hingga toleransi dalam hal-hal berbeda lainnya. Maklumlah, ya. Negara kita ini 'kan majemuk. Terdiri atas banyak agama, suku, budaya, dan tradisi. Namun berhubung tulisan ini dibuat dalam rangka Diari Ramadan, tentu saja fokusnya pada sikap toleransi dalam beragama.

Demikianlah adanya. Sebab masyarakat kita majemuk, mau tak mau toleransi merupakan tindakan sehari-hari. Bukan cuma omon-omon dalam tataran idealita dan teori. Pun, tidak selalu berbentuk gerakan besar. Pokoknya normal saja. Semua berlangsung otomatis seperti saat kita bernapas.

Salah satu contoh paling nyata adalah cerita terkait azan. Di Indonesia tak asing lagi kalau dalam sehari semalam terdengar suara azan sebanyak 5 kali. Yang mendengarnya siapa saja. Tidak hanya orang yang beragama Islam. Kerennya, hal itu menjadi sebuah kewajaran. Tidak kemudian menjadi poin pemantik permusuhan antaragama.

Ada pula cerita toleransi dari GIGI. Band yang digawangi Armand Maulana ini punya album religi Islam, sementara gitarisnya (Dewa Budjana) beragama Hindu. Tatkala tur ke pesantren, Dewa Budjana tetap ikut. Pihak pesantren pun menerimanya dengan baik. Mematahkan kecemasan sang gitaris yang sebelumnya tak pernah berinteraksi dengan kaum santri.

Selanjutnya, penyusunan rundown acara-acara kerap disesuaikan dengan waktu shalat. Selama Ramadan pun ada penyesuaian-penyesuaian jadwal masuk untuk anak sekolah dan pekerja kantoran. Jangan lupakan pula, fenomena Perang Takjil yang viral tahun ini, yang sesungguhnya selalu berlangsung tiap Ramadan.

Nah. Kurang apa lagi? Kalau didata satu per satu, bakalan panjang senarai cerita toleransi di negeri ini.

Uniknya, sikap toleransi yang terjadi tak melulu dalam nuansa serius (normal) seperti contoh-contoh di atas. Tak jarang malah ada sikap-sikap toleransi yang kocak. Misalnya ketika teman nonis (bukan muslim) dimanfaatkan sebagai tukang cicip ketika gengs mainnya yang muslim cari takjil sebelum azan Magrib. Kiranya inilah posisi dimanfaatkan yang menyenangkan sekaligus mengandung pesan perdamaian antarumat beragama.

Tentang dimanfaatkan, saya juga pernah dimanfaatkan oleh seorang teman yang beragama Hindu. Tatkala itu dia ingin mencicipi martabak bikinan ibu seorang teman kami. Kulit martabak dan isian sayurannya bisa dia konsumsi, tetapi daging sapinya harus dia sisihkan. Kalau hal ini dilakukannya, tentu dia akan diomeli. Alhasil, dimintanya saya sebagai solusi. Kami duduk di pojokan membongkar martabak. Isian dagingnya saya makan, kulit martabaknya jatah dia. Haha!

Ada pula kisah masa kecil teman saya yang hobi nyolong jambu di halaman gereja. Dia beragama Islam, sedangkan informannya salah satu kawan mainnya yang merupakan jemaat gereja tersebut. Sungguh the real kerja sama antarumat beragama 'kan? Konyolnya mereka menikmati jambu curian itu di pelataran masjid. Kebetulan lokasi masjid berada di belakang gereja. Nah, lho. Apa dosanya enggak dobel tuh?

O, ya. Ada cerita kocak satu lagi. Saya menemukannya di Tiktok. Begini. Ada VT yang berisi wawancara dengan beberapa bocah. Si pewawancara bertanya, "Dosa apa yang pernah kamu bikin saat Ramadan?"

Dengan cengar-cengir salah satu bocah menjawab, "Ikut mengambil takjil gratis dan ikut tarawih."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline