Lihat ke Halaman Asli

Agus Kristianto

peminat ekonomi

Asa Omnibus Law Perpajakan bagi Daerah

Diperbarui: 11 Februari 2020   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Omnibus Law.(Shutterstock) via Kompas.com

Saat ini, ramai diberitakan Pemerintah sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan. Muatan RUU yang menyita perhatian di antaranya adalah kewenangan intervensi tarif Pajak Daerah dan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) oleh Pemerintah. 

Pengaturan mengenai evaluasi Raperda selama ini telah berjalan dan dilaksanakan dengan baik. Evaluasi dilakukan untuk memastikan bahwa Peraturan Daerah (Perda) mengenai pajak daerah tidak bertentangan dengan undang-undang.

Apabila intervensi diartikan sebagai pemangkasan kewenangan, hal tersebut dapat dianggap sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Karena sebaliknya, kebijakan intervensi yang nantinya akan diterapkan bertujuan untuk mengatasi kemandegan inovasi fasilitas perpajakan daerah dalam mendorong investasi di daerah. 

Pada pemerintah pusat, fasilitas perpajakan dalam rangka mendorong investasi yang dimuat pada RUU, sebagian telah diimplementasikan. Tetapi hal tersebut masih dianggap kurang implementatif, bahkan bisa dikatakan jalan di tempat. Hal ini dikarenakan pada tataran pelaksanaann tidak diimbangi dan didukung dengan kebijakan di tingkat daerah.

Pada era pembangunan infrastruktur yang cukup massif oleh pemerintah melalui BUMN dan juga pihak swasta lainnya, dibutuhkan dana yang sangat besar. Pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari unsur tanah dan bangunan. 

Dua-duanya merupakan objek pajak daerah. Dari kedua unsur tersebut sangat diharapkan mendapat dukungan fasilitas perpajakan guna mendorong investasi di daerah.

Mengharapkan daerah memberi fasilitas perpajakan dengan proses cepat tidaklah mudah. Pada pemerintah daerah, pungutan Pajak Daerah diatur dengan perda yang mengacu pada Undang-Undang 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Apabila Daerah sudah menetapkan Perda terkait Pajak Daerah, maka pemerintah pusat tidak dapat melakukan intervensi sama sekali, termasuk pengaturan tarif.

Untuk mengatur perubahan pajak daerah memerlukan suatu upaya dan proses yang luar biasa, walaupun hanya untuk perubahan satu aspek saja, seperti tarif pajak misalnya. 

Dengan jumlah daerah sebanyak 542 daerah, dapat dibayangkan jika perubahan pengaturan yang hanya satu itu pun membutuhkan effort yang bukan main tentunya. Belum lagi itu akan menambah perda yang saat ini sudah berjibun jumlahnya. Ini akan menambah pusing kepala pelaku usaha.

Memangkas "Biaya Kertas"
Di kalangan pelaku usaha properti, pengeluaran yang berkaitan dengan jual-beli properti dikenal dengan "biaya kertas" yang akan menggerus keuntungan. Bagi para pelaku perorangan atau skala kecil, biaya kertas ini biasanya disiasati dengan berbagai cara. 

Para pelaku usaha properti lebih memilih skema kontrak untuk menjual guna menekan ongkos dibanding jika mereka harus sampai proses Akta Jual Beli/AJB. Persoalan muncul pada skala besar dan perlu kepastian hukum seperti saat akan dilaksanakannya sekuritisasi properti dalam bentuk Dana Investasi Real Estat/DIRE.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline