Lihat ke Halaman Asli

Generasi Stroberi di Tangan Siapa ?.

Diperbarui: 16 Oktober 2025   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dokumentasi Pribadi

Mengurai Peran Krusial Sekolah dan Komunitas Melawan Pola Asuh Hiperprotektif

 

Strawberry parenting, pola asuh yang berlebihan protektif, telah melahirkan Generasi Z yang rentan terhadap tantangan kehidupan nyata. Dalam konteks ini, peran lingkungan sosial dan institusi pendidikan menjadi sangat krusial sebagai benteng penyelamat. Lingkungan yang mampu memberikan tantangan sesuai kemampuan anak dapat membentuk kemandirian, menggantikan peran hiperprotektif orang tua. Opini kritis harus dilayangkan: Sekolah dan komunitas tidak boleh lagi menjadi sekadar perpanjangan tangan orang tua yang memanjakan. Mereka harus berfungsi sebagai ruang inokulasi, tempat anak dihadapkan pada dosis tantangan yang terukur, mengajarkan bahwa kegagalan adalah kurikulum yang paling berharga dan valid. Kita harus menolak narasi bahwa anak harus selalu bahagia; sebaliknya, mereka harus belajar mengelola kekecewaan dan membangun resiliensi, sebab dunia nyata tidak menawarkan zona nyaman yang permanen.

Lingkungan sosial memberikan ruang bagi anak untuk berinteraksi, belajar mandiri, dan menghadapi permasalahan kecil secara bertahap. Dengan interaksi yang sehat, anak generasi Z terdorong mengembangkan rasa percaya diri dan keterampilan problem solving yang sangat dibutuhkan. Pendekatan ini secara mendasar menantang pola strawberry parenting yang cenderung menciptakan ketergantungan dan kelemahan karakter, memenjarakan potensi anak dalam sangkar emas. Di sinilah letak peran strategis komunitas, yang harus diaktivasi sebagai komite ketahanan mental anak. Klub-klub komunitas, kegiatan outbound berbasis alam, atau bahkan kerja sosial harus didorong untuk menciptakan gesekan sosial yang sehat dan terarah. Gesekan ini mengajarkan negosiasi, penerimaan perbedaan, dan etika kolaborasi di luar zona nyaman, menanggulangi kecenderungan social distancing yang ironisnya dipicu oleh perlindungan berlebihan orang tua yang mengklaim melindungi anak dari "dunia luar yang kejam dan tak terduga."

Selain itu, edukasi bagi orang tua dalam lingkungan komunitas menjadi fondasi penting untuk perubahan. Kesadaran akan bahaya pola asuh yang berlebihan protektif perlu ditingkatkan melalui program kelompok dukungan dan workshop yang terstruktur. Pertukaran pengalaman dan pengetahuan parenting positif membantu mengubah paradigma orang tua, dari pola protektif menuju pola asuh yang seimbang dan mendukung tumbuh kembang anak secara otonom. Program edukasi ini harus bersifat intrusif dan non-judgmental, menantang orang tua untuk merenungkan ketakutan pribadi mereka yang seringkali secara tidak sadar diproyeksikan ke masa depan anak. Pola asuh hiperprotektif seringkali adalah cerminan kecemasan dan trauma orang tua sendiri yang belum terselesaikan. Komunitas harus menyediakan ruang aman di mana orang tua bisa mengakui kelelahan dan ketakutan mereka, memungkinkan mereka mengadopsi pola asuh berbasis kepercayaan pada potensi bawaan anak, bukan berbasis kontrol yang justru mencekik kemandirian dan daya juang mereka.

Sekolah menjadi ruang strategis kedua selain keluarga dan lingkungan sosial. Di sini, pendidikan karakter dan soft skills yang ditanamkan berperan sebagai penyeimbang pengaruh overprotektif orang tua. Sekolah tidak hanya mengajarkan akademis, tetapi juga secara aktif harus merekayasa situasi-situasi di mana siswa harus berjuang, gagal, dan bangkit sendiri, di bawah pengawasan yang suportif dan empatik. Sekolah modern harus berani mendeklarasikan diri sebagai Laboratorium Resiliensi, tempat di mana toleransi terhadap ketidaksempurnaan dan kesalahan diangkat sebagai nilai utama. Metode pembelajaran kooperatif, proyek berbasis masalah yang kompleks, dan peran kepemimpinan yang bergilir wajib diterapkan, tujuannya adalah merobek bubble kenyamanan yang telah diciptakan orang tua selama bertahun-tahun. Sekolah yang pasif, yang hanya berfokus pada nilai, berarti turut membenarkan pemanjangan masa kanak-kanak siswa dan mengabaikan tugas mereka sebagai penyiap insan dewasa.

Inilah saatnya merevolusi peran guru, dari sekadar penyampai materi menjadi coach dan fasilitator emosional yang proaktif. Guru harus dilatih untuk mengidentifikasi tanda-tanda kelemahan mental akibat strawberry parenting seperti kesulitan menerima kritik, kecemasan sosial, atau ketidakmampuan menunda kepuasan dan memberikan intervensi peer-to-peer serta konseling singkat yang tepat sasaran. Kurikulum harus difokuskan pada problem solving nyata, bukan sekadar tes hafalan, memaksa siswa bernegosiasi dan berkolaborasi dalam suasana yang menantang dan autentik. Sekolah wajib menolak intervensi orang tua yang berlebihan, yang mencoba memuluskan setiap jalan anak, menegaskan otonomi institusional dalam pembentukan karakter. Paradoksnya, dengan membiarkan anak merasakan sedikit kesulitan, sekolah justru sedang mempersiapkan mereka untuk sukses besar dalam hidup nyata yang penuh dinamika dan ketidakpastian.

Pendekatan Disiplin Restoratif wajib menggantikan model disiplin otoriter yang hanya bersifat menghukum dan menundukkan. Model ini secara radikal fokus pada perbaikan hubungan dan pemulihan martabat, bukan sekadar pemberian sanksi fisik atau penalti. Ketika siswa melanggar aturan, sekolah harus memfasilitasi dialog di mana siswa dituntut untuk memahami dampak perbuatannya terhadap orang lain, bukan sekadar diasingkan atau dihukum. Ini adalah metode yang mengajarkan tanggung jawab autentik, bukan kepatuhan yang didasari ketakutan. Sekolah harus menjadi pusat pemulihan konflik, bukan pengadilan penghukuman: sebuah tempat di mana siswa yang rapuh mental didampingi untuk menemukan suara dan solusi mereka sendiri, bukan tempat di mana masalah disembunyikan karena takut akan labeling negatif atau hukuman yang represif.

Integrasi Kurikulum Mental Wellness harus menjadi investasi utama institusi pendidikan di era pasca-pandemi. Ini berarti memasukkan pelajaran tentang mindfulness, manajemen stres, dan kesehatan mental sebagai mata pelajaran wajib, bukan sekadar ekstrakurikuler opsional yang diletakkan di pinggiran. Sekolah memiliki kewajiban etis untuk melengkapi siswa dengan tool kit psikologis untuk menghadapi dunia yang turbulent, yang nilai kegunaannya jauh lebih mendesak daripada nilai tinggi di atas kertas. Pelatihan ini secara langsung mengeliminasi efek strawberry parenting yang gagal mengajarkan anak cara bertahan. Dengan demikian, Generasi Z tidak hanya dibekali dengan kecerdasan kognitif yang memadai, tetapi juga kecerdasan emosional dan resiliensi yang diperlukan untuk menavigasi kompleksitas kehidupan pasca-sekolah yang semakin menantang dan penuh persaingan global.

Dampak jangka panjang strawberry parenting pada karakter generasi Z adalah kelemahan mental dan sosial yang terstruktur. Mereka cenderung kurang mandiri, tidak tahan terhadap tekanan atau stres, dan menunjukkan kesulitan signifikan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru atau kegagalan. Lingkungan dan sekolah bekerja sinergis untuk memberikan landasan nyata (grounding) yang diperlukan untuk meminimalisir dampak negatif ini. Sekolah perlu secara proaktif menciptakan kurikulum yang mengajarkan anak menerima dan belajar dari kritik, sementara komunitas harus menyediakan arena aman untuk interaksi sosial yang menuntut negosiasi dan kompromi. Hanya melalui kolaborasi yang ketat ini, bubble protektif yang dibuat orang tua dapat dipecah secara halus dan efektif tanpa menjadikan anak kehilangan kesempatan untuk tumbuh mandiri. Sekolah sebagai mediator yang bijak harus menjadi pengendali pola asuh berlebihan yang merugikan anak.

Melalui sinergi yang terencana dan didukung oleh kebijakan, anak-anak dapat dilatih kesiapan mental dan sosial, meningkatkan kemandirian, dan mengasah pengelolaan emosi secara matang. Lingkungan sosial yang suportif, yang dipenuhi mentor dan teladan positif, serta sekolah yang konsekuen dalam mengatasi dampak strawberry parenting merupakan pondasi penting dalam membangun generasi kuat dan adaptif yang siap menjadi pemimpin masa depan. Sekolah harus berani menetapkan batas yang sehat dengan orang tua, menegaskan bahwa tugasnya adalah mendidik, bukan melayani kehendak protektif yang merusak. Kesuksesan sistem pendidikan diukur dari kemampuan lulusannya untuk bangkit dari kegagalan, bukan dari nilai ujian mereka. Kita harus menolak menjadi sekolah yang hanya menghasilkan trophy kids yang rapuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline