Rasanya ada kesepakatan tidak tertulis, di banyak tempat di negeri pertiwi ini. Terkhusus soal patokan, di angka tertentu yang dianggap waktunya -- seseorang-- menikah. Dan kalau diangka tersebut lewat -- belum menikah--, otomatis kudu siap mental untuk dinyinyiri.
Soal kategori usia siap menikah, sebenarnya sama sekali tidak masalah. Karena para pakar, pasti sudah mengukur dari berbagai aspek. Melihat dari berbagai disiplin ilmu, dengan jeli dan super teliti. Baik dari sisi fisik, mental, spiritual, tanggung jawab dan lain sebagainya.
Tetapi kemudian, ada yang membuat benak ini menjadi sedemikian miris. Adalah reaksi kebanyakan orang, menyikapi patokan usia kepantasan menikah itu. Meranalah, mereka yang belum menikah setelah lewat umur 30 tahun.
Saya dulu pernah malas pulang kampung, tak siap dirasani dan atau dikomentari banyak orang. Saya enggan ikut kumpul keluarga besar, jaga-jaga kalau diperbandingkan.
Saya pernah mengalami, dicibir oleh saudara sendiri di hadapan orang banyak. Kemudian disindir teman sepergaulan, padahal kami tidak kenal dekat.
Risiko belum menikah di kepala tiga, rentan mendapatkan macam julukan. Entah bujang lapuk, perawan tua, atau padanan kata lain tak mengenakan.
Bener-bener, istilah telat nikah istilah yang menyakitkan.
-----
kumpul keluarga. (Dokumentasi Pribadi)
Manusia direntang umur 20 - 30 tahun, sangat mungkin diukur matang secara fisik maupun pikiran. Pengalaman dan perjalanan hidup, bisa membentuknya menjadi pribadi tangguh.