Lihat ke Halaman Asli

agit Maharta612

Agit Maharta Putra Hutama mahasiswa aktif UMM

Menghindari Pertikaian dengan Penerapan Syariat Islam dalam Pembagian Harta Warisan

Diperbarui: 23 Januari 2022   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkenalkan saya Agit Maharta selaku mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. Penulisan  artikel ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Islam  yang diampu oleh Bapak Drs. Adi Prasetya, M. SI. AK,CA. Tujuan lainya adalah untuk memberi wawasan kepada masyarakat  tentang cara pembagian harta warisan agar tetap terjalin  kerukunan.

Perolehan harta bisa datang dari berbagai sumber. Menurut Taqyudin An-Nabhani sebab-sebab kepemilikan harta dalam Islam antara lain yaitu bekerja, warisan, Kebutuhan akan harta yang menyambung hidup, maksudnya bila seseorang tidak mampu mendapatkan harta karena alasan syara', maka ia mendapatkan harta untuk beertahan hidup dari negara, Pemberian harta negara kepada rakyat, Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta/tenaga, misal hibah, hadiah, barang temuan dan lain-lainnya. Dari beberapa sumber tersebut harta warisan merupakan harta yang paling rawan. Maksud dari paling rawan adalah harta warisan dapat menyebabkan perselisihan antar keluarga karena pembagian harta yang dirasa tidak adil, yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya tali silaturahmi antar anggota keluarga. Perpecahan tersebut juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan terkait pembagian harta warisan sesuai syariat islam.

            Pembagian harta warisan sudah diatur di dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi

Terjemahan

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. 

Islam sangat tegas dalam hal pembagian harta selain dalam Al-quran, negara juga membuat hukum dan aturan yang memuat tentang pembagian warisan. Mungkin orang orang akan  bertanya mengapa pembagian warisan memiliki aturan yang ketat, tidak hanya lingkup agama, tetapi juga lingkup bernegara. Sekarang kita bayangkan jika pembagian harta tidak di atur maka harta tersebut akan menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan. Walaupun sudah ada aturan tetapi juga masih banyak perkelahian, pembunuhan yang disebabkan karena perebutan warisan. Waktu pembagian harta ahli waris dilakukan setelah pemilik harta telah meninggal dunia.

Cara Pembagian Warsisan

1. Menetukan ahli waris

  • Ashab Al-Furiid

Yaitu ahli waris yang menerima bagian pasti (sudah ditentukan bagiannya). Misalnya, ayah sudah pasti menerima sebesar 1/3 bagian jika pewaris memiliki anak; atau 1/6 bagian jika pewaris memiliki anak.

  • Ashabah, 

yaitu kelompok yang mendapatkan sisa setelah dilakukan pembagian.

  • Zawi Al-Arham, 

yaitukelompok yang tidak menerima bagian, kecuali tidak ada Ashab Al-Furiid dan Ashabah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline