Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

"Agent of Change" yang Sesungguhnya

Diperbarui: 2 Juli 2021   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Agent of Change (Sumber gambar : www.fergusonvalues.com)


Gerakan tahun 1998 mungkin merupakan salah satu aksi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Aksi yang dimotori oleh para mahasiswa dalam upaya menggulingkan rezim order baru waktu itu. 

Setelah beberapa waktu berlalu, masa-masa itu masih terus dikenang oleh hampir setiap mahasiswa di semua perguruan tinggi bahkan hingga saat ini sebagai suatu era dimana mahasiswa tidak hanya bisa duduk di ruang perkuliahan mendengarkan materi dari dosen pengajar saja, akan tetapi mahasiswa juga bisa memberikan arti lebih bagi keberlangsungan sebuah peradaban.  Mahasiswa dikenal peranannya sebagai agen perubahan (agent of change) yang menjadi inisiator pergantian sebuah era.

Baca juga: Agent of Change, Development, and Modernization: Satu Pemuda Dapat Mengubah Dunia

Ditengah-tengah iklim perpolitikan yang tidak terlalu kondusif seperti sekarang, peranan agent of change sangatlah diperlukan. Hingar-bingar dunia maya yang ramai oleh para netizen dengan segala opininya, keberadaan sosok penebar kesejukan diantara komunitas internet ini sangatlah diperlukan.  

Adu argumen sebenarnya adalah sesuatu yang sehat dalam demokrasi, akan tetapi ketika didalamnya sudah menyertakan penghinaan, cemooh, bully, ujaran kebencian, dan juga hoaks maka adu argumen itu bisa dikatakan kehilangan esensinya yang murni. Seperti halnya saat ini ketika keberpihakan terhadap gagasan masing-masing calon presiden-wakil presiden justru menjurus pada penyampaian opini negatif saling silang dari setiap kubu. 

Maksudnya adalah ingin menyampaikan kepada khalayak bahwa salah satu calon memiliki konsep yang lebih baik dari yang lain, hanya saja hal itu dilakukan bukan dengan cara mendeskripsikan dan menarasikan setiap visi misi yang dimiliki masing-masing kandidat secara memikat kepada masyarakat, akan tetapi justru dengan berkoar-koar mempertunjukkan bahwa pihak lawan menyampaikan visi misi yang lebih buruk dengan harapan pihaknya terlihat lebih baik. 

Kondisi ini telah menjadikan iklim yang tidak sehat dalam pergaulan serta menciptakan kesan permusuhan dari masing-masing kubu yang bersebrangan. Ironisnya, hal ini seakan dibiarkan terjadi tanpa terkendali. Beberapa bahkan terjadi aksi saling lapor kepada pihak kepolisian karena dianggap ada hal-hal yang melanggar hukum. Sangat tidak nyaman sekali situasi dan kondisi seperti ini.

Bcaa juga: Pelajar dan Pemuda sebagai Agent of Change

Mungkin kita semua ingat pasca perang dunia ke-2 pernah terjadi rebutan pengaruh antara dua negara adidaya dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet berikut sekutu-sekutu mereka. Kedua negara besar tersebut terlibat perang dingin yang berkepanjangan. Pada saat negara-negara di seluruh dunia cenderung memiliki keberpihakan kepada salsah satu blok, Indonesia dengan Bung Karno sebagai sosok terdepan bangsa waktu itu dengan gagah menyatakan bahwa Indonesia tidak memilih dan memihak salah satu blok.

 Indonesia menolak untuk menjadi sekutu salah satu antara Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Saat itu kita dikenal sebagai bangsa yang menggagas gerakan non-blok, sebuah sikap politis yang begitu luar biasa untuk sebuah bangsa yang masih muda usia kemerdekaannya. Ketegasan Bung Karno untuk melibatkan Indonesia kesalah satu kubu merupakan sikap seorang agent of change yang terbukti menjadikan kita sebagai bangsa yang disegani bangsa-bangsa lain. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline