Lihat ke Halaman Asli

Mitos Desa Golan dan Mirah Sebagai Kearifan Lokal dan Etika Lingkungan Masyarakat Setempat

Diperbarui: 4 Juni 2025   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Gerbang Makam Ki Ageng Honggolono di Desa Golan, Sukorejo, Ponorogo. Sumber: dokumen pribadi)

(Makam Ki Ageng Honggolomo dan makam Joko lancur, Siti Amira. Sumber: Prasetya UB)

Perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia berdampak besar pada budaya. Kebudayaan mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kebiasaan yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Setiap etnis memiliki kebudayaan khas yang terbentuk dari situasi masyarakatnya. Menilai kebudayaan dengan membandingkannya dapat menimbulkan kesenjangan, karena hanya masyarakat asal yang benar-benar memahami makna asli kebudayaan mereka, seperti mitos Desa Golan dan Mirah.

Mitos Desa Golan dan Mirah berasal dari kisah asmara tragis antara Joko Lancur dari Desa Golan dan Dewi Amirah Kencono Wungu dari Desa Mirah, yang terjadi sekitar tahun 1440-an di wilayah desa Golan, Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, pada masa awal terbentuknya Kabupaten Ponorogo. Dewi Amirah adalah putri Ki Honggojoyo (Shidiq Muslim), seorang kyai dan tokoh terpandang di Desa Mirah yang masih keturunan Prabu Brawijaya V. Sementara itu, Joko Lancur adalah putra Ki Honggolono, seorang sesepuh sakti di Desa Golan. Kisah asmara mereka bermula saat Joko Lancur sedang sabung ayam, dan ayamnya lari ke pekarangan rumah Dewi Amirah. Saat melihat Dewi Amirah, Joko Lancur langsung jatuh hati dan menjadi gelisah hingga akhirnya berniat melamarnya.

Niat Joko Lancur untuk melamar Dewi Amirah ditolak oleh Ki Ageng Mirah karena perbedaan agama dan pandangan politik, dengan syarat-syarat mustahil sebagai penolakan halus. Meski Ki Honggolono berhasil memenuhinya dengan kekuatan gaib, lamaran tetap ditolak, yang berujung pada bunuh dirinya Dewi Amirah dan Joko Lancur. Kedua ayah akhirnya memakamkan mereka berdampingan di Situs Setono Wungu. Karena murka, Ki Honggolono mengucapkan lima sumpah larangan yang masih ditaati oleh masyarakat Desa Golan dan Mirah hingga kini diantaranya adalah: 1). Wong Golan lan Mirah turun-temurun ora oleh ngenekake mantu (Masyarakat Desa Golan dan Mirah serta keturunannya tidak boleh menikah). 2). Barang utawa isen-isen ndonyo soko Deso Golan kang awujud kayu, watu, banyu, lan sak panunggalane ora bisa digawa menyang Deso Mirah (Segala jenis barang dari Desa Golan berupa kayu, batu, air, dan lain-lain tidak boleh dibawa ke Desa Mirah). 3). Barang-barange wong Golan lan Deso Mirah ora bisa diwor dadi siji (Barang-barang dari Desa Golan dan Mirah tidak bisa dijadikan satu). Seperti contohnya adalah sungai desa Golan dan desa Mirah tidak bisa bersatu hingga saat ini. 4). Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul (Masyarakat Desa Golan tidak boleh membuat atap berbahan jerami). 5). Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen lan gawe panganan saka dele (Masyarakat Desa Mirah tidak boleh menanam, menyimpan, dan membuat makanan dengan bahan kedelai).

Pada ke lima sumpah sampai saat ini masih menjadi pegangan/pedoman tradisi oleh masyarakat Desa Golan dan Desa Mirah dan mematuhinya. Masyarakat meyakini bahwa jika sumpah tersebut di langgar maka akan ada hal buruk menimpanya, sebagai bagian dari tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun. Tradisi larangan adat antara Desa Golan dan Mirah dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur dan diyakini dapat mencegah hal buruk. Nilai-nilai ini ditanamkan sejak dini melalui ungkapan peringatan, seperti larangan bermain ke desa tertentu. Kepercayaan ini diperkuat oleh pengalaman masyarakat, seperti kejadian makanan tidak matang saat warga kedua desa hadir bersamaan dalam suatu hajatan, yang dianggap akibat pelanggaran pantangan. Hal ini membentuk pola pikir dan sikap hati-hati dalam kehidupan masyarakat.

Tradisi larangan adat ini diterapkan oleh masyarakat Desa Golan dan Mirah untuk menata kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Saat ini hubungan masyarakat Desa Golan dan Desa Mirah berlangsung cukup harmonis. Bahkan kedua masyarakat tersebut saling berteman seperti biasannya. Meskipun di lain sisi terdapat pembatasan-pembatasan sosial akibat pertikaian leluhur di masa lalu yang sudah terselesaikan dengan adanya tradisi larangan adat ini. Namun masyarakat di kedua desa tersebut memandang fenomena tersebut sebagai suatu tradisi leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan sehingga tradisi larangan adat di Desa Golan dan Mirah sejatinya merupakan sebuah kearifan lokal yang harus dihormati. Kearifan lokal berupa tradisi larangan adat ini merupakan sebuah nilai dan norma budaya yang menjadi ideologi ciri khas dari masyarakat Desa Golan dan Desa Mirah dalam berpikir dan berperilaku.

 Tradisi larangan adat ini menjadi pegangan hidup oleh masyarakat Desa Golan dan Mirah itu sendiri dengan cara-cara seperti:

 a. Dihidupkan kembali/diaktifkan melalui mitos-mitos kesialan masyarakat ketika melanggar tradisi larangan adat.

 b. Dikelola melalui pengombinasian tradisi larangan adat dengan cerita rakyat secara utuh.

c. Diwariskan dengan penceritaan langsung dari mulut ke mulut baik oleh orang tua, teman sebaya, pemerintah setempat, maupun masyarakat sekitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline