Anas bin Malik, salah satu sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ, pernah berkata:
“Aku melayani Rasulullah selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah sekalipun berkata ‘uh’ kepadaku, tidak pernah mencela apa yang kulakukan, dan tidak pernah berkata ‘mengapa kamu lakukan ini’ atau ‘mengapa kamu tidak lakukan itu’.” (HR. Muslim)
Selama satu dekade hidup dalam naungan Nabi, Anas bin Malik menyaksikan langsung akhlak yang luar biasa: kesabaran, kelembutan, dan kasih sayang yang tulus. Ia tidak hanya menghormati Rasulullah karena gelarnya sebagai Nabi, tetapi karena akhlaknya yang memikat dan membuat siapa pun merasa dihormati.
Seperti dikemukakan Hafsa Ahmad dalam laman Al Huda International School, “Umat Islam di seluruh dunia memiliki kecintaan yang mendalam kepada Nabi Muhammad ﷺ. Beliau dihormati tidak hanya oleh umat Islam, tetapi banyak juga non-Muslim yang memuji beliau karena kualitas-kualitas luar biasa dan pesan yang beliau bawa.” (Ahmad, n.d.). Namun, cinta sejati bukan hanya tentang menyebut nama tetapi meneladani pribadi.
Lantas, benarkah cinta kepada Nabi bisa diklaim tanpa meniru akhlaknya?
Konsep Cinta kepada Rasulullah Lebih dari Sekadar Pengakuan
Cinta kepada Rasulullah ﷺ dalam perspektif Islam adalah kecenderungan hati yang memotivasi tindakan. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa cinta Nabi wajib melebihi cinta pada diri sendiri. Namun, cinta seperti itu bukan sekadar ungkapan lisan.
Kalau kita perhatikan realitas hari ini, banyak orang mengaku mencintai Nabi. Mereka membaca shalawat, mengenakan atribut islami, bahkan membela nama beliau di ruang publik. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, akhlak beliau jujur, sabar, adil sering tidak tercermin.
Contoh sederhana:
Di media sosial, kita sering melihat orang marah-marah atas nama Nabi, menghina lawan debat, atau merendahkan sesama muslim. Padahal.
Rasulullah bersabda: