Lihat ke Halaman Asli

Aditya Sindu Sakti

Clinical Pharmacist, Researcher, and Academic in Natural Products Pharmacy

Krokot: Gulma Liar yang Ternyata Kaya Khasiat untuk Kesehatan

Diperbarui: 9 Oktober 2025   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Tanaman Krokot (Sumber: dokumentasi pribadi Aditya Sindu Sakti)

Selama ini, masyarakat sering menganggap krokot (Portulaca oleracea L.) sebagai tanaman liar atau gulma tak berguna. Padahal, tanaman sukulen yang mudah tumbuh di halaman rumah, pematang sawah, hingga sela-sela paving ini menyimpan potensi besar sebagai “superfood” alami sekaligus bahan obat tradisional.

Berbagai penelitian modern menunjukkan bahwa krokot kaya akan senyawa fenolik dan flavonoid, dua kelompok zat bioaktif yang berperan sebagai antioksidan, antiinflamasi, hingga membantu menurunkan risiko penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dan kolesterol. Tidak heran, di beberapa negara Eropa dan Asia, krokot justru dijadikan bahan salad, sayuran segar, bahkan ramuan herbal.  

Hasil Riset: Membandingkan Metode Ekstraksi Krokot

Tim peneliti dari Universitas Khairun dan Universitas Muhammadiyah Lamongan, termasuk saya sendiri, melakukan serangkaian riset untuk mencari metode terbaik mengekstraksi senyawa fenolik dari krokot. Hasilnya cukup mengejutkan:

  1. Metode tradisional (infusa vs dekokta).
    Penelitian kami menemukan bahwa perebusan krokot dengan metode dekokta jauh lebih efektif dibanding sekadar diseduh (infusa). Dekokta menghasilkan kadar fenolik hingga 377,6 mg GAE/g, hampir tiga kali lipat lebih tinggi dibanding infusa yang hanya 121,3 mg GAE/g.

  2. Metode konvensional  perkolasi vs sokhletasi.
    Meski hasil kandungan fenolik relatif sama (sekitar 326–327 mg GAE/g), sokhletasi menghasilkan rendemen ekstrak lebih tinggi. Namun, metode ini berisiko merusak stabilitas senyawa akibat paparan panas.

  3. Metode modern: Continuous Percolation (CP) vs Ultrasound-Assisted Extraction (UAE).
    Ekstraksi dengan bantuan gelombang ultrasonik (UAE) terbukti paling unggul, menghasilkan kandungan fenolik tertinggi 420,04 mg GAE/g, lebih besar dibanding CP (354,3 mg GAE/g). Mekanisme kavitasi dari ultrasound membantu memecah dinding sel krokot, sehingga senyawa aktif lebih mudah terambil.

Potensi untuk Kesehatan dan Industri Herbal

Temuan ini memperkuat reputasi krokot sebagai tanaman lokal kaya gizi dan obat. Dengan cara pengolahan yang tepat, krokot bisa menjadi bahan baku suplemen, fitofarmaka, maupun produk pangan fungsional. Bagi masyarakat awam, pesan pentingnya sederhana: jangan lagi memandang krokot sebagai gulma pengganggu. Justru, tanaman ini bisa menjadi alternatif pangan sehat dan obat alami murah meriah yang tumbuh subur di tanah kita. Bagi dunia akademik dan industri, riset ini membuka peluang untuk mengembangkan standarisasi produk herbal berbasis krokot, mulai dari ekstrak cair, kapsul, hingga inovasi pangan sehat.

Krokot adalah contoh nyata bagaimana “gulma” bisa berubah menjadi emas hijau. Dengan pendekatan ilmiah dan inovasi teknologi ekstraksi, tanaman sederhana ini berpotensi menopang gaya hidup sehat sekaligus industri obat herbal Indonesia di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline