Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim yang besar telah lama mendorong penguatan sistem ekonomi syariah nasional. Seiring pesatnya perkembangan industri keuangan syariah (mulai dari perbankan, asuransi, reksadana, hingga fintech) bermunculan pula tuntutan akan sistem peradilan yang menjamin perlindungan serta kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi syariah. Salah satu gagasan yang mengemuka adalah pembentukan Pengadilan Niaga Syariah di lingkungan peradilan agama sebagai forum khusus penyelesaian sengketa bisnis syariah. Namun, wacana ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kelak akan ada tumpang tindih kewenangan dengan lembaga peradilan yang sudah ada?
Hal tersebut perlu kita telusuri dari Latar Belakang dan Dasar Aturannya terhadap Pengadilan Agama dan Pengadilan Niaga. Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 memperluas kewenangan Peradilan Agama, termasuk untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Perkara ekonomi syariah meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, pembiayaan, dan berbagai kontrak bisnis berbasis syariah antara sesama muslim. Sementara itu, perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) selama ini menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga yang berada dalam lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pengadilan niaga terbentuk dengan tujuan menangani perkara-perkara bisnis atau niaga yang kompleks, rumit dan bernilai besar.
Akhir-akhir ini muncul kembali wacana pembentukan pengadilan niaga syariah, yang tadinya sempat di wacanakan pada sekitar 10 tahun ke belakang. Hal ini di kemukakan lagi karena adanya kebutuhan penyelesaian perkara bisnis berbasis syariah yang bukan hanya mengenai aspek perdata klasik (seperti hutang-piutang), melainkan kompleksitas industrial seperti kepailitan syariah, investasi syariah, dan restrukturisasi perusahaan berbasis syariah, yang memang membutuhkan Hakim yang kompatibel di bidangnya, yaitu Hakim Peradilan Agama. Selain itu, banyak pihak merasa bahwa peradilan umum belum sepenuhnya menguasai aspek substansi syariah dalam memutus perkara ekonomi berbasis syariah. Dahulu sempat wacananya, tetap berada di peradilan umum, namun hal ini menuai banyak pro kontra bagi para akademisi, praktisi, maupun mahasiswa. Salah satunya mahasiswa UIN Makassar yang mengatakan "pembentukan Pengadilan Niaga Syariah tidak worth it sih, karena jadi terlalu banyak peradilan, akan tetapi poin plus nya itu menjadi menambah lapangan kerja di Indonesia." Ujar Wahdania dari Fakultas Syariah & Hukum. Memang setiap kebijakan yang dibuat akan selalu menimbulkan sisi positif dan negatifnya.
Urgensi dan Rasionalisasi Pembentukan
1. Kesenjangan Substansi
Pengadilan niaga di bawah peradilan umum sering kali tidak memasukkan prinsip-prinsip ekonomi syariah sebagai dasar pertimbangan dalam memutus sengketa yang berasal dari akad syariah. Putusan yang dihasilkan kadang tidak sesuai dengan maqashid syariah atau prinsip-prinsip keadilan Islam. Kesenjangan pemahaman ini menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpastian bagi pelaku usaha syariah.
2. Penguatan Kompetensi Peradilan Agama
Peradilan agama dianggap lebih siap dari segi pemahaman dan sumber daya manusia terhadap prinsip syariah. Dengan adanya hakim yang disertifikasi keilmuan ekonomi syariah, maka proses penyelesaian perkara ekonomi syariah akan lebih baik (melayani kebutuhan umat dan menambah kepercayaan terhadap sistem ekonomi syariah nasional).
3. Amanat Legislasi
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 sudah membuka peluang adanya pembentukan pengadilan khusus di lingkungan peradilan agama, yaitu dalam Pasal 3A ayat (1). Hal ini. mengikuti konsep "one roof system" lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Hal ini juga di sampaikan oleh Najwa Annida, seorang mahasiswa Fakultas Syariah & Hukum, bahwa "menurut saya, bisa aja sih di bentuk (Pengadilan Niaga Syariah) dan dibawah naungan peradilan agama, karena kan itu nanti kompetensinya hakim agama ya. Serta, dalam UU Peradilan Agama yang baru juga mengatur terkait membuka Pengadilan Niaga Syariah di lingkup Peradilan Agama." ujar Mahasiswa UIN Jakarta.