Lihat ke Halaman Asli

A Damanhuri

Gemar bersosial dan penikmat kopi

Mesin Tik Desa Padang Toboh Itu yang Mengantarkanku Jadi Wartawan

Diperbarui: 27 Mei 2020   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mesin ketik ini hanya sebagian kecil digunakan. Dunia komputer dan digitalisasi yang merambah saat ini membuat mesin ketik ini jadi barang langka. (foto dok my Typewiter)

Di lingkungan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan ada OSIP. Yakni Organisasi Santri Intra Pesantren. Aku sempat menjabat Ketua OSIP itu satu periode. Sebagai bahan bacaan umum, pesantren berlangganan Media Dahwah yang terbit sebulan sekali. 

Bermula dari acap membaca itu, aku jadi terbiasa membaca koran dan majalah. Setiap Selasa aku ke Lubuk Alung membeli Koran Republika dan Tabloid Adil. Dua koran itu yang sering aku baca saat di Lubuk Pandan. Rebublika yang penuh dengan nuansa Islami menjadi kegemaran aku dalam berinteraksi dengan berbagai tulisan yang diolah dan dirangkai oleh penulis-penulis hebat. 

Keseringan membaca, timbul niat dalam hati, kapan ya aku bisa menulis di koran? Itu kata-kata yang acap terlintas dalam angan-anganku.

Zaman itu adik Abak, Amiruddin yang tamat MTI Batang Kabung dan IAIN Imam Bonjol Padang sedang menjadi wartawan Haluan. Motivasiku untuk menulis dan jadi wartawan terus menyeruak, tatkala melihat Zakirman Tanjung yang setiap Jumat melakukan sembahyang seminggu sekali itu di kampungnya; Masjid Raya Lubuk Pandan. 

Sebelum sembahyang, pengurus masjid mengumpulkan infak dari jamaah. "Zakirman Tanjung, wartawan Canang seribu rupiah," kata pengurus. Aku lihat dan aku perhatikan terus dia. Dalam hatiku berkata, wartawan bapak ini rupanya. Dan itu hampir tiap minggu aku perhatikan.

Sementara kecanduan membaca koran dan majalah, termasuk juga tabloid semakin aku gemari. Ibaratnya, rumah tampak jalan tak tahu. Itu barangkali keinginanku tentang pekerjaan tulis menulis tersebut. 

Impian menulis itu terwujud, setelah aku kawin, dan melakukan banyak pekerjaan pula sebelumnya. Aku sempat jadi tukang cetak foto kilat lima menit siap di Pasar Ulak Karang Padang. Sempat pula jadi kuli bangunan di Mentawai, dan pernah pula sebulan mengajar anak mengaji di Kandis, Riau.

Tahun 1999 setelah Pemilu, aku ditawari Pak Amiruddin mengantarkan koran Padang Pos seminggu sekali. Ada sekitar 150 orang langganan yang harus diantarkan. Mulai dari Batang Anai sampai Batang Gasan. Dari Ulakan terus ke Kayutanam. Kota Pariaman terus ke VII Koto Sungai Sariak lama. 

Sambil mengantar koran itulah keinginan menulis yang tumbuh sejak di pesantren itu mulai aku wujudkan. Perlahan aku mulai menulis opini. Mulai pertama akhirnya ketagihan, dan lama-lama sudah jadi kebiasaan. Waktu HUT pertama Padang Pos, aku termasuk loper berpretasi, sehingga dapat penghargaan pada malam anugrah yang diadakan di Pangeran Hotel itu.

Kemudian Padang Pos mengadakan kemah bakti di Sungai Limau. Hadir juga Pak Infai yang saat itu menjabat Pemimpin Perusahaan Padang Pos. Dia langsung sebut namaku. "Damanhuri ya," katanya. Iya pak," kata aku. 

Sekarang coba mulai menulis berita. Jangan opini terus. Biar jadi wartawan pula. Pak Infai memberikan contoh tekhnis penulisan berita. Dengan siapa harus wawancara dan konfirmasi. Diberikannya contoh tentang taman di Pantai Arta Sungai Limau. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline