Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Dunia Perang Melawan Penyebaran Virus Corona, Kita Perang Melawan Siapa?

Diperbarui: 16 Maret 2020   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: kompas.com/shutterstock

Pukul 06.00 WIB. Baru saja saya buka pintu rumah. Dua ibu sedang mengobrol di samping rumah. Mereka tengah membicarakan tema yang lagi hangat: Virus Corona. Salah seorang di antara mereka menyatakan bahwa virus tersebut tak ubahnya seperti penyakit cacar. "Jadi, yang pernah sakit Corona badannya akan kebal dan tidak bisa tertulari lagi," katanya mantap.

Saya tersenyum meski perasaan saya terasa getir. Pembicaraan seperti itu mungkin tidak akan viral di media sosial. Namun, getok tular sesama "orang kecil" di tingkat RT atau RW, yang disertai sistem keyakinan tak tergoyahkan, bisa menjadi bumerang.

Gagal menangkap informasi kerap terjadi. Kabar kasus nomor 25 meninggal dunia bisa diterima sebagai berita bahwa "yang meninggal 25 orang". Dan kita tak perlu bersitegang bahwa semua ini akibat lemahnya pendidikan literasi, miskinnya budaya baca, masih sangat mahalnya harga buku dan seterusnya.

Setiap orang dikepung oleh berita dan informasi tentang Virus Corona. Menghadapi situasi ini kita butuh kuda-kuda berpikir yang kokoh. Apalagi, perang dunia mengatasi penyebaran virus telah dicanangkan. Pasien Virus Corona di China menurun. Namun, bukan berarti dunia telah aman dari Covid-19 ini.

Apabila dibandingkan dengan China, jumlah penderita di setiap negara tergolong kecil. Namun, apabila jumlah penderita di seluruh dunia dijumlahkan, angkanya jauh lebih besar dari jumlah penderita yang dirawat di China.

Melawan Egoisme
Jika dunia menyatakan perang untuk mengatasi pandemi Covid-19, kita perang mengatasi apa? Pertanyaan ekstremnya, kita perang melawan siapa?

Jawaban saya, kita perang melawan egoisme diri sendiri. Mentang-mentang berusia muda, merasa sehat, kita pun bebas bepergian ke mana saja. Alasan klise kadang meluncur ringan. Bahkan, nasihat yang konyol kerap mengisi pesan di grup Whatsapp. "Jangan takut Corona. Malaikat Izroil (malaikat pencabut nyawa) tidak mungkin salah memilih orang."

Egoisme bisnis, egoisme karier, egoisme jabatan, egoisme akidah, egoisme ambisi, egoisme keyakinan perlu ditakar ulang. Kesehatan dan keselamatan orang lain, kini, bergantung pada kesungguhan kita mengendalikan egoisme itu. Setiap orang memang ingin masuk surga. Namun, surga keselamatan dan kebahagiaan itu diciptakan Tuhan tidak untuk dinikmati sendiri.

Sesat logika memahami takdir, surga dan neraka, atau dangkal memaknai musibah, bencana, fasad dan adzab dalam aplikasi konteks hidup sosial yang lebih luas, kerap dijumpai. Egoisme menjalani "amal saleh" seraya mengesampingkan faktor penularan virus di tengah situasi pandemi bukanlah sikap yang bijaksana.

Sosial Distancing
Anjuran melakukan sosial distancing atau menjaga jarak sosial dinilai sebagai salah satu upaya yang tepat. "Saya tidak bisa menjawab dengan pasti (kapan harus dilakukan social distancing), tapi satu jawaban tentatif yang selalu saya berikan adalah 'The sooner the better' (semakin cepat semakin baik)," saran dokter Panji Hadisoemarto, M.P.H.

Artinya, selain "dipaksa" agar mengendalikan egoisme yang mengancam kesehatan orang lain, pada akhirnya kita harus berkumpul kembali bersama keluarga. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline