Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Bagaimana Tanpa Hadiah Anak Tetap Termotivasi?

Diperbarui: 15 Februari 2016   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Ilustrasi: selenaloui.wordpress.com"]

[/caption]Di dinding sebuah kelas sekolah dasar terpampang deretan nama siswa kelas empat. Di sebelah nama mereka berbaris potongan gambar bintang terbuat dari kertas. Jumlah bintang yang berhasil dikumpulkan setiap anak tidak sama jumlahnya. Seorang siswa berhasil mengumpulkan bintang sebanyak duapuluh tiga. Ini jumlah paling banyak.  Ada siswa dapat limabelas bintang. Ini masih lumayan. Siswa yang lain bahkan cukup “puas” dengan tiga bintang.

Jumlah bintang itu akan terus bertambah setiap hari atau bisa juga stagnan, sesuai “kebaikan” atau “keburukan” yang mereka kerjakan selama satu minggu. Siswa dengan jumlah bintang terbanyak dapat hadiah dari gurunya.

Mengamati “perang bintang” itu saya menangkap beberapa fakta menarik sekaligus membuat hati saya gelisah. Menarik karena guru atau wali kelas cukup sigap dan teliti menjadi malaikat pencatat amal. Satu perbuatan baik diganjar satu bintang. Atau nilai pelajaran dapat seratus dihargai tiga bintang. Bergantung kesepakatan guru dan siswa di awal tahun pelajaran.

Apakah dengan adanya guru sebagai malaikat pencatat amal merubah siswa menjadi anak-anak manis yang taat hukum? Silahkan kita buktikan sendiri. Faktanya, masih ada siswa memukul temannya. Kamar mandi tetap pesing. Plastik bungkus makanan tercecer di lantai. Lingkungan sekolah sesaat terlihat bersih berkat kerja petugas kebersihan.

Efektifitas persaingan bintang terlihat pada kerja kognitif siswa. Bagi anak pintar tidak ada hambatan berarti. Sedangkan bagi anak yang kemampuan kognitifnya di level bawah, persaingan mengumpulkan bintang merupakan perlombaan yang mustahil dimenangkan. Dan pada saat yang sama ia menyadari hal itu. Fakta bahwa dirinya baru dapat tiga bintang di tengah deretan panjang bintang teman sekelasnya, tidakkah menjadi pemandangan yang memilukan hati?

Bagaimana saya atau kita semua tidak gelisah: bintang yang dipajang justru kontra produktif. Ada pihak yang tersakiti. Siswa dengan perolehan bintang paling sedikit hanya bisa pasrah pada takdir. Ia tidak termotivasi untuk meraih nilai pelajaran yang lebih baik karena sudah tersakiti oleh pemberian reward yang tidak tepat manfaat.

Ia tidak lantas sedih atau murung. Bisa jadi ia tetap ceria, tertawa, bermain bersama kawan-kawannya. Namun, ada sisi gelap luka dalam hatinya yang tak terobati. Parade bintang akan menjadi labelling bagi dirinya sebagai pengumpul bintang paling sedikit. Apabila itu berlangsung selama ia duduk di sekolah dasar, enam tahun ia memikul labelling yang cukup menyakitkan.

[caption caption="Ilustrasi: http://www.teachersatrisk.com"]

[/caption]“Memang benar pemberian imbalan akan memotivasi seseorang melakukan pekerjaan,” ungkap Edward Deci, Ph.D., professor of psychology at the University of Rocheste. “Tapi yang akan terjadi adalah perilaku yang bergantung pada imbalan: ada imbalan ia bekerja, tidak ada imbalan ia tidak bekerja.”

Bagaimana tanpa imbalan dan hadiah anak tetap termotivasi? Marilah kita kenang sejenak masa kecil kita saat belajar naik sepeda. Meskipun terjatuh, nabrak, dan gagal berkali-kali kita tetap semangat. Sepeda kita naiki lagi. Meluncur lagi di jalanan. Adalah rasa ingin bisa segera naik sepeda menjadi motivasi yang mendorong kita terus mencoba. Motivasi yang muncul dari dalam diri lebih kuat dari motivasi yang dipicu dari luar. Motivasi intrinsik kita rasakan lebih alami daripada motivasi ekstrinsik yang kadang sarat dengan rekayasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline