Lihat ke Halaman Asli

Sabri Leurima

Ciputat, Indonesia

Melebur di Jogjakarta (Part 3)

Diperbarui: 21 November 2019   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Cabut meninggalkan kota Udang Cirebon, roda besi kereta melaju dengan cepat. Seperti biasa alam di pulau Jawa sangat indah sekali. Berbaris rapih corak ciptaan Tuhan Yang Esa. Saya menikmatinya dalam pandangan yang berbunga-bunga.

Lahan padi terbentang luas, saya pun berucap syukur yang mendalam atas anugerah yang diberikan. Keindahan negeri ini jangan sampai tercoreng oleh proyek pembangunan yang menyengsarakan. Saya sangat berharap demikian agar tidak terjadi dikemudian hari. Melewati beberapa stasiun yang tidak kami singgahi, bang Oki selalu terdepan dalam mengkoordinir perut kami agar tidak kelaparan . Ia bergegas memanggil awak kabin kereta yang berjualan untuk memesan makanan kami.

Dibawakannya buku menu dan pena. Bertugas untuk mencatat apa yang akan kami pesan. Banyak diantara kami memesan nasi goreng dan es teh manis. Tampilan menu tersebut sangat menggugah selera makan kami. Kami pun memesannya.

Sambil menunggu pesanannya datang, dikeluarkanlah Aipad milik Bani. Dede Reno, dede Yasmin, bang Bahtiar dan Bani, mereka berempat kemudian tidak menyiakan waktu menunggu pesanan tersebut dengan bermain Ludo yang ada di Aipad milik Bani. Bersorak akibat lucunya dede Reno yang dikalahkan sebanyak 4 kali oleh dede Yasmin. Dari sorakan itu dede Reno akhirnya kesal dan memilih berhenti.

Permainan selesai, Bani lalu menutup mata sedikit. Bang Bahtiar juga memilih bercerita dengan anak dan istrinya di bangku sebelah. Sementara dede Reno dan dede Yasmin kembali ke pangkuan orang tuannya di bangku depan.

Taraa... makanan kami telah tiba dibawakan petugas kereta. Bang Oki mengawal mereka untuk memastikan agar pesanan yang dibagikan tidak keliru. Kami menerimanya dan langsung membuka nasi goreng dalam kotak makan tersebut.

"Tuh kan. Apa kata guwah, digambarnya aja yang keren tapi pada faktanya biasa aja rasanya," kata bang Indra yang duduk seorang diri dibangku belakang saya. 

Kesal, namun apa mau dikata. Perut sudah ribut dari tadi. Makan aja deh yang penting kenyang. Rugi juga kan kalau tidak dimakan, sudah bayar mahal lagi," tutur bang Indra lagi.

Tak lama kemudian kereta kami tiba di stasiun Tugu Jogjakarta pada pukul 3 sorean lewat, hampir jam 4 lah kira-kira. Menurungkan barang bawaan kami dari bagasi dan keluar ke depan stasiun.

Theo, selaku staf peneliti Setara keluar lebih awal untuk bernegosiasi dengan sopir Taxi yang sedang parkir tepat di depan pintu keluar. Karena Theo adalah asli orang Jogja, bahasa negosiasi yang dipakai adalah bahasa Jawa. Kami tidak mengerti, tapi yang jelas dugaan kami bahwa Theo sedang berbicara masalah transaksi. 

Hampir 10 menit kami menunggu hasil negosiasi yang dilakukan Theo, eh tak ada hasil. Katanya, mereka meminta lebih mahal. Ini jelas berbeda dengan harga normalnya. Mba Diah dan mba Dewi sudah cabut duluan memakai Taxi untuk memastikan Hotel tujuan kami yakni Hotel Amaris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline